Kamis, 28 Maret 2013

Takhrij Al Hadits


  
TAKHRIJ AL-HADITS

TEORI DAN METODOLOGI



 


MAKALAH
Diajukan guna memenuhi Tugas
dalam mata kuliah Hadits Hukum
Disusun Oleh
A.Riris Muldani
12340139 / IH_B
Dosen :
Mansur, S.Ag., M.Ag.

PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013


KATA PENGANTAR
Segala puji kita haturkan  kehadirat Allah SWT  yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga Saya  dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Takhrij Al-Hadits “ Teori dan Metodologi” ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun atas  refrensi dari beberaba buku yang bersangkutan dengan tema yang telah diberikan ke Saya. Makalah ini juga disertai hal-hal yang bersangkutan dan sesuai dengan makalah yang ditugaskan oleh dosen pengampu.
Selain itu Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu kami yang membantu menyemangati dalam pembuatan makalah ini. Juga kepada para penulis buku yang saya jadikan refrensi dalam pembuatan makalah ini dan Para tokoh yang Meneliti tentang Takhrij Hadits. Terima kasih juga kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang selalu membimbing saya dan tidak lupa kepada sahabat Mahasiswa dan Santri yang selalu mendukung saya. Semoga hasil makalah ini bisa membawa manfaat bagi kita semuanya.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat saya harapkan, demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan. Makalah ini juga bertujuan menjelaskan tentang Takhrij Hadits beserta contohnya. dengan harapan menjadi suatu pertimbangan dan acuan dalam melakukan penelitian dan pembelajaran. Menjadikan Takhrij Hadits sebagai panduan dalam melakukan  pembuktikan suatu hipotesis ataupun analisa mengenai hadits.
Yogyakarta, 29 Maret 2013

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam ke-2 setelah Al-Qur’an, karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi. Sebuah hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima (maqbul) secara baik atau ditolak (mardud) sebelum keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para perawi yang mengantarkan sebuah matan. Sedangkan matan  merupakan lafadh yang menunjuk pada isi sebuah hadits. Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if,atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an dan ke-dlabith-an setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Diantara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya Ulama’ Klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits). Disini penulis akan sedikit memaparkan segala sesuatu mengenai takhrij al-hadits dan tersusun rumusan masalah sebagai berikut.


B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian takhrij hadits?
2.      Bagaimana sejarah takhrij hadits?
3.      Apa sebab diadakan takhrij hadits
4.      Apa tujuan dari mentakhrij hadits?
5.      Bagaimana cara atau metode dalam mentakhrij hadits?
6.      Apa manfaat dari adanya takhrij hadits?

C. TUJUAN PENULISAN
1.  Untuk mengetahui apa itu takhrij hadits
2.  Untuk mengetahui sejarah takhrij hadits
3.  Untuk mengetahui sebab diadakannya takhrij hadits
4.  Untuk mengetahui apa tujuan mentakhrij hadits
5.  Untuk mengetahui metode-metode dalam mentakhrij hadits
6.  Untuk mengetahui manfaat dengang adanya takhrij hadits
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TAKHRIJ HADIS
Secara etimologis, kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Kata yang terakhir ini adalah bentuk derivative dari kata kerja kharaja yang berarti keluar.[1] Sedangkan secara bahasa Takhrij mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau membiasakan), al-tawjih  (memperhadapkan).[2]
Selain itu juga ada yang mendefinisikan tentang takhrij. Takhrij adalah menunjukkan hadits pada rujukan pokok ( asli ) yang sudah dikeluarkan dengan sanadnya lalu disebutkan pula kedudukan hadits tersebut pada saat yang diperlukan.[3]
Jadi bisa disimpulkan, takhrij adalah penulisan ulang hadits-hadits oleh seorang atau beberapa orang ulama dengan sanadnya sendiri yang di dapatkan dari orang-orang yang lebih mengetahui. Misalnya dari gurunya atau gurunya guru.
                                                                                        
B.                 SEJARAH TAKHRIJ HADITS
Pengetahuan para ulama pada zaman dahulu terhadap adanya hadits-hadits sangat luas, sehingga mereka tidak kesulitan apabila disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dhaif. Lalu munculah “kutub at-takhrij” (buku-buku takhrij).[4]


C.                 SEBAB-SEBAB PENTINGNYA KEGIATAN TAKHRIJUL HADITS
Bagi seorang peneliti, kegiatan takhrijul hadits sangat penting. Untuk mempermudah mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Ada 3 sebab pentingnya kegiatan takhrjul hadits, yaitu :
1.                  Untuk mengetahui asal-usul hadits yang akan diteliti
2.                  Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti
3.                  Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti[5]

D.                TUJUAN MEN-TAKHRIJ HADITS
Tujuan takhrij hadits
Tujuan pokok : untuk mengetahui sumber asal hadits yang di takhrij.
Tujuan lain  : untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.

E.                METODE TAKHRIJ HADITS
Takhrij Naql atau Akhdzu.
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran dan pengambilan hadist dari beberapa kitab hadist (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi hadist-hadist tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
Berbagai cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadist, diantaranya yang dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yang menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-Naql sebagai berikut :
a. Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadist.
b. Takhrij dengan mengetahui lafazh asal matan hadist.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadist yang kurang          dikenal.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadist.
e.
Melalui Pengetahuan Tentang Sifat Khusus (Karakteristik) Sanad Atau Matan Hadits

Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk takhrij hadits.
1)                  Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkannya
Metode ini digunakan jika kita mengetahui nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Kemudian mencari bantuan untuk tiga karya hadis, yaitu :
-                      Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.[6] Hasil karya yang berupa kitab musnad antara lain : musnad karya Ahmad bin Hambal, musnad karya Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi dan musnad karya Abu Daud Sulaiman bin Daud Ath-Thayalisi.
-                      Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.[7]
-        Kitab-kitab Al-Atraf (sisi atau bagian). Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.[8] Contoh kitab-kitab athraf ialah : atraf as-shahihain karya Abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad Ad-Dimasqi, al-asyraf ‘ala ma’rifat al-athraf karya Ibn Asakir, dan  masih ada yang lainnya.
Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :
1. Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadist itu gharib, aziz, atau masyhur.
2. Memberitahu perihal siapa saja yg diantara para penyusun kitab-kitab hadist yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3. Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.


Kelebihan metode ini :
-                       Proses takhrij dapat diperpendek
-                      Dapat dengan cepat diketahui semua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
-                      Ditemukan banyak jalan untuk matan yang sama[9]
Kelemahan metode ini :
-                      Untuk menemukan hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relative lama, karena biasanya sahabat tidak hannya meriwayatkan satu hadis saja.
-                      Metode ini tidak bisa digunakan apabila nama sahabat yang meriwayatkan hadis itu tidak diketahui.[10]
2)                  Melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis
Metode ini digunakan dengan cara mengkodifikasikan hadis berdasarkan lafal pertama hadis tersebut. Tanpa mengetahui lafal pertama hadits tersebut maka cara ini tidak bias digunakan. Kitab-kitab yang membantu dalam proses pentakhrijan metode ini antara lain:
-                      Kitab-kitab yang memuat hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak.
Maksudnya adalah semua hadits yang banyak beredar di amsyarakat baik yang shahih, hasan, atau dha’if, bahkan maudhu’. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab penunjuk yang merujukkan hadits-hadits yang beredar pada sumber asalnya. Dengan demikian, bisa ditentukan mana yang bias menjadi pegangan bagi umat dan mana yang harus ditinggalkan. Misalnya : kitab at-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karya Badruddin Muhammad ibn Abd Allah Az-Zarkasyi, Al-Laali’ Al-Mantsurah fi Al-Ahadits Al-Masyhurah karya Ibnu Hajar. Karena kitab-kitab ini dikhususkan pada hadits-hadits yang terkenal saja, maka tentu kitab-kitab ini terbatas hadis-hadisnya.
-                      Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus (alfabetis)
Kitab yang demikian berisi hadits-hadits yang diambil dari beberapa kitab dan disusun secara alfabetis, dengan membuang sanad-nya. Akan tetapi ditunjukkan sumber utamanya, yang memuat sanad-nya secara lengkap. Pada kitab-kitab ini, identitas sanad hanya dalam wujud huruf singkatan. Untuk memudahkan dalam mempergunakan kitab-kitab ini, harus diketahui lebih dahulu awal matan dari hadits-haditsnya.[11] Misalnya : Al-Jami’u Ash Shaghir min Ahadits Al-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuti.
-                      Kitab-kitab kunci dan daftar isi kitab hadits tertentu
Para ulama mutaakhkhirin berusaha membuat kitab kunci (al-miftah) dan kitab yang memuat daftar isi (al-fihris). Misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya Muhammad as-Syarif bin Musthafa at-Tauqidi, Miftah At-Tartiibi li Ahadits Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad.
Kelebihan metode ini adalah kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits yang dimaksud, karena hanya dengan mengetahui lafadz pertamanya sudah dapat menelusuri hadits pada sumber aslinya.
Kekurangan metode ini adalah jika ada perbedaan sedikit saja dalam matannya, maka akan berakibat sulit menemukan haditsnya.

3)                  Melalui pengetahuan tentang salah satu lafal hadis
Untuk metode ini dapat dibantu dengan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi, yang berisi Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda, yang bernama Dr. Arnold John Wensinck. Beliau juga ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini. Pada awalnya kitab ini berbahasa asing, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Kitab al-mu’jam merupakan kamus besar untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk lafal matn hadits. Kitab ini mampu memberikan informasi kepada pencari matn dan sanad hadits, asalkan sebagian matn yang akan dicari itu sudah diketahui walau lafal matn itu tidak berada di awal permulaan hadits.
Kitab al-mu’jam terdiri dari tujuh juz dan proses penerbitannya tidak dalam satu waktu. Terbitan pertama untuk Juz I pada tahun 1936, Juz II tahun 1943, Juz III tahun 1955, Juz IV tahun 1962, Juz V tahun 1965, Juz VI tahun 1967 dan Juz VII tahun 1969. Jadi proses penerbitan kitab ini memakan waktu selama 33 tahun.[12]
Kesembilan kitab hadits yang selalu tercantum nama-namanya dan lambing-lambangnya di setiap halaman bagian bawah dari al-mu’jam itu ialah :
Lambang yang dipakai
Nama kitab
خ
صحيح البخارى
م
صحيح مسلم
د
سنن ابى داود
ت
سنن الترمذى
ن
 سنن النسائ
ق      جه
سنن ابن ماجه (سنن ابن ماجه القزوينى)
دى
سنن الدارمى
طا
موطٲ مالك
حن  atau حم
مسنداحمد (مسند احمد بن حنبل)

Lafal-lafal yang tersusun dalam al-mu’jam mirip dengan yang tersusun dalam kamus bahasa. Namun demikian, ada beberapa lafal yang tidak termuat sebagai pokok petunjuk lafal matn hadits. Lafal-lafal itu ialah :
a)                  Berbagai jenis harf (al-ahraf), misalnya :
عن ,  قوق , ٲمام ,  على, dan   فى
b)                  Berbagai dhamir (kata ganti orang), misalnya :
ك ,  كم,  هم,  ٲنا,  نحن,  ٲنتم, dan  هو
c)                  Nama-nama orang dan selain orang, misalnya :
ٲم سلمة  dan ٲبوهريرة , عبدالله
Untuk yang nama bukan orang, misalnya :
عرفات ,  المدينت المنورة,  مكت المكرمة, dan   جبريل
d)                 Kata-kata kerja yang sering dipakai dalam percakapan, misalnya :
جاء dan   كان,  تال dengan segala perubahan bentuknya
Dengan demikian, sekiranya lafal hadits yang dicari adalah matn yang mengandung lafalفى بيوتكم  , maka yang diterangkan oleh al-mu’jam adalah lafal بيوت , sedangkan lafal قى dan كم tidak dijelaskan.[13]
Untuk memahami pengertian atau maksud dari lambang-lambang yang dipakai dalam kitab al-mu’jam, berikut ini dikemukakan contoh-contohnya beserta pengertiannya masing-masing :
Lambang
Pengertian atau maksudnya
خ اعتكاف٥¸١٥¸  ١٦
ٲيمان ٢٩
Hadits itu tercantum dalam Sahih al-Bukhari, kitab ا لاعتكاف  ٫nomor urut bab : 5, 15, dan 16; juga termuat dalam kitab           ا لٲيمان, nomor urut bab : 29
م صلاة ٥٤٬٥٣
Hadits itu tercantum dalam Sahih Muslim, kitab  الصلاة , nomor urut hadits 53 dan 54
د ٲدب ٩٠
Hadits itu tercantum dalam Sunan Abi Daud, kitab الٲدب , nomor urut bab : 90
ت فتن ٥٧٬٤٦
Hadits itu tercantum dalam Sunan at-Turmuzi, kitab الفتن , nomor urut bab 46 dan 57.
ن نساء ٣
Hadits itu tercantum dalam Sunan an-Nasa’i, kitab  عشرة النساء , nomor urut bab : 3, dan dalam bab tiga itu matn hadits dimaksud dikemukakan lebih dari satu kali.
جه ذ يائح ١٢
Hadits itu tercantum dalam Sunan Ibnu Majah, kitab  الذ با ئح  , nomor urut bab :12.
دى منا سك٢٢
Hadits itu tercantum dalam Sunan ad-Darimi, kitab المناسك, nomor urut bab 22; dalam bab itu matn hadits dimaksud dikemukakan lebih dari satu kali.
ط طها رة ١٠٤
Hadits itu tercantum dalam Muatta’ Malik, kitab  الطهارة , nomor urut hadits 104.
حم ٤١٧٬٢
١٧٠٬١٥٦٬٥
Hadits itu tercantum dalam Musnad Ahmad, Juz II, halaman 417; Juz V halaman 156 dan 170.

Kelebihan metode ini :
a.                   Memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matn hadits
b.                  Mempercepat pencarian hadits, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadits, nomor juz, dan bahkan nomor halaman.
Kekurangan metode ini :
a.                   Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat ilmu yang memadai, sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b.                  Hanya merujuk pada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadits yang diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadits tersebut tidak akan ditemukan
c.                   Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui perawi yang menerima hadits dari Nabi kita harus kembali ke kitab aslinya.[14]

4)                  Melalui pengetahuan tentang tema hadis
Metode ini dipakai oleh mereka yang benar-benar mengetahui dan menguasai tentang matn hadits dan kandungannya. Ada banyak kitab yang mentakhrij hadits dengan cara ini, antara lain :
a.                  Kitab-kitab yang memuat seluruh bab dan topic ilmu agama. Contohnya : Al-Jawami’, Al-Mustakhrajah, Al-Mustadrakah ‘Ala Al-Jawami’, Al-Majami’, Az-Za’id, Dan Mistah Kunuz As-Sunnah.
b.                  Kitab-kitab yang memuat bab atau topik, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab secara lengkap. Contohnya : As-Sunan, Al-Muwaththa’ah, dan Al-Mustakharajah ‘Ala As-Sunan.
c.                   Kitab-kitab yang hanya membahas bab atau topik-topik khusus. Contohnya: kitab At-Tarhib, At-Targib, Al-Akhlaq, dan Al-Ahkam.
Dari sekian banyak kitab yang dapat membantu dalam mentakhrij dengan metode ini, yang paling sering digunakan adalah kitab Miftah Kunuz As-Sunnah. Hal ini terjadi karena kitab-kitab yang lain tidak menyebutkan data kitab sumber pengambilannya secara lengkap. Dengan demikian, hadits yang diteliti, masih diperlukan penulusuran tersendiri.
Kitab miftah kunuz as-sunnah  disusun oleh DR. Arinjan Vensink, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. Proses penyusunan kitab ini memakan waktu selama 10 tahun, sedangkan diedarkannya kitab ini membutuhkan waktu selama 4 tahun. Kitab-kitab yang menjadi rujukan kitab ada 14 macam kitab, yakni : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwattha’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Sunan Ad-Darimi, Musnad Zaid Bin Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi Al-Waqidi, dan Thabaqat Ibnu Sa’ad.

Kelebihan metode ini antara lain :
·                     Dapat ditemukannya banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
·                     Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits kepada peneliti. Dengan menggunakan metode ini beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan pengetahuan tentang  figh al-hadits.
·                     Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadits, seperti keabsahan lafal pertama, pengetahuan bahasa arab dan perubahan-perubahnnya, dan pengenalan rawi pertama.

Kekurangan metode ini yakni :
·                     Terkadang hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temanya. Akibatnya ia tidak dapat memfungsikan metode ini.
·                     Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab. Akibatnya ialah penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut.[15]

5)                  Melalui Pengetahuan Tentang Sifat Khusus (Karakteristik) Sanad Atau Matan Hadits
Apabila kita sudah mempunyai ciri-ciri tentang sebuah hadits, misalnya hadits tersebut termasuk hadits qudsi kemudian ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu, serta ciri-ciri lainnya. Maka alangkah baiknya mentakhrij hadits dengan metode ini.
Sebagai contoh, jika diketahui matan hadits yang janggal, maka hadits tersebut dapat dilihat lebih lanjut pada kumpulan hadits-hadits dha’if  atau maudhu’, seperti pada kitab al-Maudhu’ah al-Kubra. Dan apabila diketahui ada ciri-ciri hadits Qudsi, maka dapat dilihat lebih lanjut pada kitab seperti Misykah al-Anwar fi’ ma Ruwiya ‘an Illahi Subhanahu wa ta’ala min al-Akhbar. Begitu juga dengan ciri-ciri yang ditemukan pada sanad, seperti suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang ayah dari anaknya, dapat dilihat pada kitab Riwa’yah al-Aba an’ al-Abna.[16]
Kelebihan metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya.
Kekurangan metode ini adalah bahwa metode inimemerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan sanad dan matn hadits yang ditakhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan ini pada umumnya memuat hadits yang jumlahnya sangat terbatas.[17]

Selain mentakhrij hadits secara konvensional seperti yang telah dipaparkan di atas, ada juga pentakhrijan hadits dengan cara digital. Yaitu menggunakan aplikasi-aplikasi yang terdapat dalam computer, contohnya : Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Mausu’ah al-Hadîtsi Asy-syarîf, dan Al-Maktabah Asy-Syãmilah.






F.                  FAEDAH TAKHRIJUL HADITS
Faedah atau manfaat dengan adanya takhrijul hadits antara lain :
a.                   Dengan takhrij akan diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang sedang menjadi topik kajian.
b.                  Dengan takhrij akan diketahui kuat dan tidaknya periwayatan. Makin banyaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, berarti kekuatan periwayatannya tidak bertambah.
c.                   Dengan takhrij kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari periwayatan jalur isnad yang lain. Baik dari segi rawi,isnad maupun matan.
d.                  Dengan takhrij akan dapat diketahui persamaan dan perbedaan atau wawasan yang lebih luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadits yang terkait.
e.                   Dengan takhrij akan dapat ditentukan status hadits shahih li dzatihi atau shahih li’ ghairihi, hasan li dzatihi atau hasan li ghairihi. Dengan demikian juga akan dapat diketahui istilah hadits mutawatir, masyhur, aziz dan gharib.[18]


















BAB III
PENUTUP
A.                KESIMPULAN
Secara kharfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits (الحديث تخريج) dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij. Adapun obyek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad danmatan. Matan juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits. Secara metodologis, takhrij hadits dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu takhrj dengan cara melacak perawi dari generasi shahabat, takhrij dengan cara melacak awal kata matan hadits, takhrij dengan cara melacak suku kata atau potongan matan hadits, takhrij dengan cara melacak tema hadits, dan takhrij dengan cara melacak sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits.
Adapun langkah-langkah teknis yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan takhrij adalah :
Proses Takhrij                   
Dalam melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij) hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a.                   Menentukan teks hadits atau topik terlebih dahulu.
b. Menentukan atau mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad, al-    Bukhari, Muslim dan sebagainya.
1.   Menulusuri hadits yang dimaksud dari sumber aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal al-Nabawi karya Dr. A.J. Winsick atau lainnya untuk mengetahui dimana posisi sebuah hadits yang dicari sesungguhnya berada.
2.   Meneliti sanad. Setelah didapati keberadaan hadits dan diketahui sanadnya dalam kitab tertentu, maka nama-nama yang terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu. Untuk meneliti nama-nama dalam sanad (rijal al-hadits) dapat dipergunakan buku-buku indeks perawi seperti kitab Tahdzib at-Tahdzib karya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk mengetahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungan dengan perawi lainnya, sehingga ditemukan simpulan tentang nama sebenarnya, sifatnya dan sebagainya, hiingga diketahui status haditsnya.
3.   Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah keempat tadi peneliti dapat menganalsis sebuah hadits melalui sanad, baik dari aspek kwantitas dan kualitas, lalu ditentukan statusnya. Jika dimungkinkan, maka dilakuka istinbath hukum dari proses tersebut.
Selanjutnya mengenai tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut. Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu : Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, dan mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat dtierima atau ditolak.
                                                               



DAFTAR PUSTAKA

Fani, Metode Takhrij Hadits, dalam website www.ppnuruliman.com, tanggal 28 September 2012
Hariyanto, Muhsin.  Metode Takhrij Hadits, dalam website www.muhsinhar.staff.umy.ac.id, tanggal 28 September 2012
Husnan, Ahmad. Kajian Hadits Metode Takhrij, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993
Ismail, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Manna’ Al- Qaththan, Syaikh. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2004
Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga. Al-Hadis,Yogyakarta, 2005
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996
Unais, Ibrahim, dkk. al-Mu’jam al-Wasitb, Kairo: Dar al- Ma’arif, 1972



[1] Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Al-Hadis, Yogyakarta, 2005, Hlm 128
[2] Muhsin Hariyanto, Metode Takhrij Hadits, dalam website www.muhsinhar.staff.umy.ac.id , tanggal 28 September 2012
[3] Fani, Metode Takhrij Hadits, dalam website www.ppnuruliman.com, tanggal 28 September 2012
[4] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2004, Hlm 189
[5] Prof. DR. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 2007, Hlm 41-42
[6] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2004, hlm 191
[7] ibid
[8] ibid hlm 192
[9] Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Al- Hadis, hlm 136-137
[10] Ibid, hlm 137
[11] DR. Utang Ranuwijaya, M.A , Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, Hlm 120
[12] Dr. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1991, Hlm 50
[13] Ibid hlm 51-53
[14] Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, Al-Hadis,Yogyakarta, 2005, Hlm 140-141
[15] Ibid hlm 142
[16] Dr. utang ranuwijaya, m.a, ilmu hadis, Jakarta, gaya media pratama, 1996, hlm 122
[17] Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, Al-Hadis,Yogyakarta, 2005, Hlm 143
[18] Ahmad Husnan, Kajian Hadits Metode Takhrij, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1993, Hlm 107

 Source : My Friend, Nurul Mafudhoh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar