TAKHRIJ
AL-HADITS
TEORI
DAN METODOLOGI
MAKALAH
Diajukan
guna memenuhi Tugas
dalam
mata kuliah Hadits Hukum
Disusun
Oleh
A.Riris
Muldani
12340139
/ IH_B
Dosen
:
Mansur,
S.Ag., M.Ag.
PRODI
ILMU HUKUM
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji kita haturkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga Saya dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang Takhrij
Al-Hadits “ Teori dan Metodologi” ini dengan baik sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah
ini disusun atas refrensi dari beberaba
buku yang bersangkutan dengan tema yang telah diberikan ke Saya. Makalah ini
juga disertai hal-hal yang bersangkutan dan sesuai dengan makalah yang
ditugaskan oleh dosen pengampu.
Selain
itu Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu kami yang membantu
menyemangati dalam pembuatan makalah ini. Juga kepada para penulis buku yang
saya jadikan refrensi dalam pembuatan makalah ini dan Para tokoh yang Meneliti
tentang Takhrij Hadits. Terima kasih
juga kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang selalu membimbing
saya dan tidak lupa kepada sahabat Mahasiswa dan Santri yang selalu mendukung
saya. Semoga hasil makalah ini bisa membawa manfaat bagi kita semuanya.
Dalam
penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik
dan saran sangat saya harapkan, demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan
untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa
mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi
kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan. Makalah ini juga bertujuan
menjelaskan tentang Takhrij Hadits
beserta contohnya. dengan harapan menjadi suatu
pertimbangan dan acuan dalam melakukan penelitian dan pembelajaran. Menjadikan Takhrij Hadits sebagai panduan
dalam melakukan pembuktikan suatu
hipotesis ataupun analisa mengenai hadits.
Yogyakarta,
29 Maret 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam ke-2 setelah Al-Qur’an,
karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena
itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits mempunyai tiga unsur
penting yakni, sanad,
matan dan perawi. Sebuah hadits belum dapat
ditentukan apakah boleh diterima (maqbul) secara baik atau ditolak (mardud)
sebelum keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil
ataukah munqathi’.
Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para
perawi yang mengantarkan sebuah matan. Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada isi sebuah hadits.
Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam
sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if,atau lainnya. Dengan
demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an
dan ke-dlabith-an
setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Diantara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik
dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya Ulama’
Klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan
tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar
merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui
statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk
mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak,
darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa
perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan
sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi),
maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan
seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits). Disini penulis
akan sedikit memaparkan segala sesuatu mengenai takhrij al-hadits dan tersusun rumusan masalah sebagai
berikut.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian takhrij hadits?
2.
Bagaimana sejarah takhrij hadits?
3.
Apa sebab diadakan takhrij hadits
4.
Apa tujuan dari mentakhrij hadits?
5.
Bagaimana cara atau metode dalam mentakhrij hadits?
6.
Apa manfaat dari adanya takhrij hadits?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui apa itu takhrij hadits
2. Untuk mengetahui sejarah
takhrij hadits
3. Untuk mengetahui sebab diadakannya
takhrij hadits
4. Untuk mengetahui apa tujuan
mentakhrij hadits
5. Untuk mengetahui metode-metode
dalam mentakhrij hadits
6. Untuk mengetahui manfaat
dengang adanya takhrij hadits
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TAKHRIJ HADIS
Secara etimologis, kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Kata yang terakhir ini adalah
bentuk derivative dari kata kerja kharaja
yang berarti keluar.[1]
Sedangkan secara bahasa Takhrij
mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih
atau membiasakan), al-tawjih
(memperhadapkan).[2]
Selain itu juga ada yang mendefinisikan
tentang takhrij. Takhrij adalah menunjukkan hadits
pada rujukan pokok ( asli ) yang sudah dikeluarkan dengan sanadnya lalu
disebutkan pula kedudukan hadits tersebut pada saat yang diperlukan.[3]
Jadi
bisa disimpulkan, takhrij adalah penulisan ulang hadits-hadits oleh seorang
atau beberapa orang ulama dengan sanadnya sendiri yang di dapatkan dari
orang-orang yang lebih mengetahui. Misalnya dari gurunya atau gurunya guru.
B.
SEJARAH TAKHRIJ HADITS
Pengetahuan
para ulama pada zaman dahulu terhadap adanya hadits-hadits sangat luas,
sehingga mereka tidak kesulitan apabila disebutkan suatu hadits untuk
mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar melemah,
mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai
rujukan para penulis dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian ulama bangkit dan
memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan
sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya dan
menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dhaif. Lalu munculah “kutub at-takhrij” (buku-buku takhrij).[4]
C.
SEBAB-SEBAB PENTINGNYA KEGIATAN
TAKHRIJUL HADITS
Bagi
seorang peneliti, kegiatan takhrijul hadits sangat penting. Untuk mempermudah
mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Ada 3 sebab pentingnya
kegiatan takhrjul hadits, yaitu :
1.
Untuk mengetahui asal-usul hadits yang
akan diteliti
2.
Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi
hadits yang akan diteliti
3.
Untuk mengetahui ada atau tidak adanya
syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti[5]
D.
TUJUAN MEN-TAKHRIJ HADITS
Tujuan takhrij hadits
Tujuan pokok : untuk mengetahui sumber
asal hadits yang di takhrij.
Tujuan lain : untuk mengetahui keadaan hadits tersebut
yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.
E.
METODE TAKHRIJ HADITS
Takhrij
Naql atau Akhdzu.
Takhrij
dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran dan pengambilan hadist dari
beberapa kitab hadist (mashadir al-asliyah), sehingga dapat teridentifikasi
hadist-hadist tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya
masing-masing.
Berbagai
cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh
para ahli hadist, diantaranya yang dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yang
menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-Naql sebagai
berikut :
a. Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan
hadist.
b. Takhrij dengan mengetahui lafazh asal matan hadist.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadist yang kurang dikenal.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadist.
e. Melalui Pengetahuan Tentang Sifat Khusus (Karakteristik) Sanad Atau Matan Hadits
b. Takhrij dengan mengetahui lafazh asal matan hadist.
c. Takhrij dengan cara mengetahui lafazh matan hadist yang kurang dikenal.
d. Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadist.
e. Melalui Pengetahuan Tentang Sifat Khusus (Karakteristik) Sanad Atau Matan Hadits
Berikut
beberapa metode yang dapat digunakan untuk takhrij hadits.
1)
Melalui
pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkannya
Metode ini digunakan jika kita
mengetahui nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Kemudian mencari bantuan
untuk tiga karya hadis, yaitu :
-
Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab
ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara
tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis,
maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk
dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.[6]
Hasil karya yang berupa kitab musnad antara lain : musnad karya Ahmad bin Hambal, musnad
karya Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi dan musnad karya Abu Daud Sulaiman bin Daud Ath-Thayalisi.
-
Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di
dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru)
sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan
untuk merujuk hadisnya.[7]
-
Kitab-kitab Al-Atraf (sisi
atau bagian).
Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad
para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang
peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada
sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi
untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.[8]
Contoh kitab-kitab athraf ialah : atraf as-shahihain karya Abu Mas’ud Ibrahim
bin Muhammad Ad-Dimasqi, al-asyraf ‘ala
ma’rifat al-athraf karya Ibn Asakir, dan
masih ada yang lainnya.
Manfaat
dari kitab-kitab Athraf adalah :
1. Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadist itu gharib, aziz, atau masyhur.
2. Memberitahu perihal siapa saja yg diantara para penyusun kitab-kitab hadist yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3. Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.
1. Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apaka hadist itu gharib, aziz, atau masyhur.
2. Memberitahu perihal siapa saja yg diantara para penyusun kitab-kitab hadist yg meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3. Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yg dibuat athrafnya.
Kelebihan
metode ini :
-
Proses takhrij dapat diperpendek
-
Dapat dengan cepat diketahui semua
hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara
lengkap.
-
Ditemukan banyak jalan untuk matan
yang sama[9]
Kelemahan metode ini :
-
Untuk menemukan hadis tertentu yang
diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relative lama, karena
biasanya sahabat tidak hannya meriwayatkan satu hadis saja.
-
Metode ini tidak bisa digunakan
apabila nama sahabat yang meriwayatkan hadis itu tidak diketahui.[10]
2)
Melalui
pengetahuan tentang lafal pertama hadis
Metode ini digunakan dengan cara
mengkodifikasikan hadis berdasarkan lafal pertama hadis tersebut. Tanpa
mengetahui lafal pertama hadits tersebut maka cara ini tidak bias digunakan.
Kitab-kitab yang membantu dalam proses pentakhrijan
metode ini antara lain:
-
Kitab-kitab
yang memuat hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak.
Maksudnya adalah semua hadits yang
banyak beredar di amsyarakat baik yang shahih,
hasan, atau dha’if, bahkan maudhu’. Untuk itu, para ulama menyusun
kitab-kitab penunjuk yang merujukkan hadits-hadits yang beredar pada sumber
asalnya. Dengan demikian, bisa ditentukan mana yang bias menjadi pegangan bagi
umat dan mana yang harus ditinggalkan. Misalnya : kitab at-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karya Badruddin Muhammad
ibn Abd Allah Az-Zarkasyi, Al-Laali’
Al-Mantsurah fi Al-Ahadits Al-Masyhurah karya Ibnu Hajar. Karena
kitab-kitab ini dikhususkan pada hadits-hadits yang terkenal saja, maka tentu
kitab-kitab ini terbatas hadis-hadisnya.
-
Kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus (alfabetis)
Kitab yang demikian berisi hadits-hadits
yang diambil dari beberapa kitab dan disusun secara alfabetis, dengan membuang
sanad-nya. Akan tetapi ditunjukkan sumber utamanya, yang memuat sanad-nya secara
lengkap. Pada kitab-kitab ini, identitas sanad hanya dalam wujud huruf
singkatan. Untuk memudahkan dalam mempergunakan kitab-kitab ini, harus
diketahui lebih dahulu awal matan dari hadits-haditsnya.[11] Misalnya
: Al-Jami’u Ash Shaghir min Ahadits Al-Basyir
An-Nadzir karya As-Suyuti.
-
Kitab-kitab
kunci dan daftar isi kitab hadits tertentu
Para ulama mutaakhkhirin berusaha
membuat kitab kunci (al-miftah) dan
kitab yang memuat daftar isi (al-fihris).
Misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya
Muhammad as-Syarif bin Musthafa at-Tauqidi, Miftah
At-Tartiibi li Ahadits Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad.
Kelebihan
metode ini adalah kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits
yang dimaksud, karena hanya dengan mengetahui lafadz pertamanya sudah dapat
menelusuri hadits pada sumber aslinya.
Kekurangan
metode ini adalah jika ada perbedaan sedikit saja dalam matannya, maka akan
berakibat sulit menemukan haditsnya.
3)
Melalui
pengetahuan tentang salah satu lafal hadis
Untuk metode ini dapat dibantu dengan kitab
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits an-Nabawi, yang berisi
Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus
Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini
disusun oleh seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda, yang
bernama Dr. Arnold John Wensinck. Beliau juga ikut dalam menyebarkan dan
mengedarkannya kitab ini. Pada awalnya kitab ini berbahasa asing, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Kitab al-mu’jam merupakan kamus besar
untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk lafal matn hadits. Kitab ini mampu
memberikan informasi kepada pencari matn dan sanad hadits, asalkan sebagian
matn yang akan dicari itu sudah diketahui walau lafal matn itu tidak berada di
awal permulaan hadits.
Kitab al-mu’jam terdiri dari tujuh juz
dan proses penerbitannya tidak dalam satu waktu. Terbitan pertama untuk Juz I
pada tahun 1936, Juz II tahun 1943, Juz III tahun 1955, Juz IV tahun 1962, Juz
V tahun 1965, Juz VI tahun 1967 dan Juz VII tahun 1969. Jadi proses penerbitan
kitab ini memakan waktu selama 33 tahun.[12]
Kesembilan kitab hadits yang selalu
tercantum nama-namanya dan lambing-lambangnya di setiap halaman bagian bawah
dari al-mu’jam itu ialah :
Lambang yang dipakai
|
Nama kitab
|
خ
|
صحيح
البخارى
|
م
|
صحيح
مسلم
|
د
|
سنن
ابى داود
|
ت
|
سنن
الترمذى
|
ن
|
سنن النسائ
|
ق جه
|
سنن
ابن ماجه (سنن ابن ماجه القزوينى)
|
دى
|
سنن
الدارمى
|
طا
|
موطٲ
مالك
|
حن
atau حم
|
مسنداحمد
(مسند احمد بن حنبل)
|
Lafal-lafal yang tersusun dalam
al-mu’jam mirip dengan yang tersusun dalam kamus bahasa. Namun demikian, ada
beberapa lafal yang tidak termuat sebagai pokok petunjuk lafal matn hadits.
Lafal-lafal itu ialah :
a)
Berbagai
jenis harf (al-ahraf), misalnya :
عن , قوق , ٲمام , على, dan
فى
b)
Berbagai
dhamir (kata ganti orang), misalnya :
ك , كم, هم, ٲنا, نحن, ٲنتم, dan
هو
c)
Nama-nama
orang dan selain orang, misalnya :
ٲم سلمة dan ٲبوهريرة , عبدالله
Untuk yang nama bukan orang, misalnya :
عرفات , المدينت المنورة, مكت
المكرمة, dan
جبريل
d)
Kata-kata
kerja yang sering dipakai dalam percakapan, misalnya :
جاء dan كان, تال dengan segala perubahan bentuknya
Dengan demikian, sekiranya lafal hadits
yang dicari adalah matn yang mengandung lafalفى
بيوتكم ,
maka yang diterangkan oleh al-mu’jam adalah lafal
بيوت ,
sedangkan lafal قى dan كم tidak dijelaskan.[13]
Untuk
memahami pengertian atau maksud dari lambang-lambang yang dipakai dalam kitab
al-mu’jam, berikut ini dikemukakan contoh-contohnya beserta pengertiannya
masing-masing :
Lambang
|
Pengertian
atau maksudnya
|
خ
اعتكاف٥¸١٥¸ ١٦
ٲيمان
٢٩
|
Hadits
itu tercantum dalam Sahih al-Bukhari, kitab ا
لاعتكاف ٫nomor
urut bab : 5, 15, dan 16; juga termuat dalam kitab ا
لٲيمان, nomor urut bab : 29
|
م
صلاة ٥٤٬٥٣
|
Hadits
itu tercantum dalam Sahih Muslim, kitab الصلاة , nomor urut hadits 53 dan 54
|
د
ٲدب ٩٠
|
Hadits
itu tercantum dalam Sunan Abi Daud, kitab الٲدب , nomor urut bab : 90
|
ت
فتن ٥٧٬٤٦
|
Hadits
itu tercantum dalam Sunan at-Turmuzi, kitab
الفتن
, nomor urut bab 46 dan 57.
|
ن
نساء ٣
|
Hadits
itu tercantum dalam Sunan an-Nasa’i, kitab عشرة
النساء , nomor urut
bab : 3, dan dalam bab tiga itu matn hadits dimaksud dikemukakan lebih dari
satu kali.
|
جه
ذ يائح ١٢
|
Hadits
itu tercantum dalam Sunan Ibnu Majah, kitab الذ
با ئح ,
nomor urut bab :12.
|
دى
منا سك٢٢
|
Hadits
itu tercantum dalam Sunan ad-Darimi, kitab المناسك, nomor urut bab 22; dalam bab itu matn hadits dimaksud
dikemukakan lebih dari satu kali.
|
ط
طها رة ١٠٤
|
Hadits
itu tercantum dalam Muatta’ Malik, kitab الطهارة , nomor urut hadits 104.
|
حم
٤١٧٬٢
١٧٠٬١٥٦٬٥
|
Hadits
itu tercantum dalam Musnad Ahmad, Juz II, halaman 417; Juz V halaman
156 dan 170.
|
Kelebihan
metode ini :
a.
Memungkinkan
pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matn hadits
b.
Mempercepat
pencarian hadits, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab
induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadits, nomor juz, dan
bahkan nomor halaman.
Kekurangan
metode ini :
a.
Adanya
keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat ilmu yang memadai,
sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata
dasarnya.
b.
Hanya
merujuk pada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadits yang diketahui
tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadits tersebut tidak akan
ditemukan
c.
Metode
ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui perawi
yang menerima hadits dari Nabi kita harus kembali ke kitab aslinya.[14]
4)
Melalui
pengetahuan tentang tema hadis
Metode ini dipakai oleh mereka yang
benar-benar mengetahui dan menguasai tentang matn hadits dan kandungannya. Ada
banyak kitab yang mentakhrij hadits dengan cara ini, antara lain :
a.
Kitab-kitab
yang memuat seluruh bab dan topic ilmu agama. Contohnya : Al-Jawami’, Al-Mustakhrajah,
Al-Mustadrakah ‘Ala Al-Jawami’, Al-Majami’, Az-Za’id, Dan Mistah Kunuz
As-Sunnah.
b.
Kitab-kitab
yang memuat bab atau topik, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab secara
lengkap. Contohnya : As-Sunan, Al-Muwaththa’ah, dan
Al-Mustakharajah ‘Ala As-Sunan.
c.
Kitab-kitab
yang hanya membahas bab atau topik-topik khusus. Contohnya: kitab At-Tarhib,
At-Targib, Al-Akhlaq, dan Al-Ahkam.
Dari
sekian banyak kitab yang dapat membantu dalam mentakhrij dengan metode
ini, yang paling sering digunakan adalah kitab Miftah Kunuz As-Sunnah.
Hal ini terjadi karena kitab-kitab yang lain tidak menyebutkan data kitab
sumber pengambilannya secara lengkap. Dengan demikian, hadits yang diteliti,
masih diperlukan penulusuran tersendiri.
Kitab
miftah kunuz as-sunnah disusun
oleh DR. Arinjan Vensink, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad
Fuad Abdul Baqi. Proses penyusunan kitab ini memakan waktu selama 10 tahun,
sedangkan diedarkannya kitab ini membutuhkan waktu selama 4 tahun. Kitab-kitab
yang menjadi rujukan kitab ada 14 macam kitab, yakni : Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu
Majah, Muwattha’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Sunan
Ad-Darimi, Musnad Zaid Bin Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi Al-Waqidi, dan
Thabaqat Ibnu Sa’ad.
Kelebihan
metode ini antara lain :
·
Dapat
ditemukannya banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
·
Metode
ini mendidik ketajaman pemahaman hadits kepada peneliti. Dengan menggunakan
metode ini beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan pengetahuan
tentang figh al-hadits.
·
Metode
ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadits, seperti keabsahan lafal
pertama, pengetahuan bahasa arab dan perubahan-perubahnnya, dan pengenalan rawi
pertama.
Kekurangan metode ini yakni :
·
Terkadang
hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temanya.
Akibatnya ia tidak dapat memfungsikan metode ini.
·
Terkadang
pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab. Akibatnya ialah
penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti
tersebut.[15]
5)
Melalui
Pengetahuan Tentang Sifat Khusus (Karakteristik) Sanad Atau Matan Hadits
Apabila kita sudah mempunyai ciri-ciri
tentang sebuah hadits, misalnya hadits tersebut termasuk hadits qudsi kemudian
ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu, serta ciri-ciri
lainnya. Maka alangkah baiknya mentakhrij hadits dengan metode ini.
Sebagai contoh, jika diketahui matan
hadits yang janggal, maka hadits tersebut dapat dilihat lebih lanjut pada
kumpulan hadits-hadits dha’if
atau maudhu’, seperti pada kitab al-Maudhu’ah al-Kubra.
Dan apabila diketahui ada ciri-ciri hadits Qudsi, maka dapat dilihat
lebih lanjut pada kitab seperti Misykah al-Anwar fi’ ma Ruwiya ‘an Illahi
Subhanahu wa ta’ala min al-Akhbar. Begitu juga dengan ciri-ciri yang
ditemukan pada sanad, seperti suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang ayah
dari anaknya, dapat dilihat pada kitab Riwa’yah al-Aba an’ al-Abna.[16]
Kelebihan metode ini adalah pada umumnya
kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat
penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya.
Kekurangan metode ini adalah bahwa
metode inimemerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan sanad dan matn
hadits yang ditakhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan ini pada
umumnya memuat hadits yang jumlahnya sangat terbatas.[17]
Selain mentakhrij hadits secara
konvensional seperti yang telah dipaparkan di atas, ada juga pentakhrijan
hadits dengan cara digital. Yaitu menggunakan aplikasi-aplikasi yang terdapat
dalam computer, contohnya : Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Mausu’ah
al-Hadîtsi Asy-syarîf, dan Al-Maktabah Asy-Syãmilah.
F.
FAEDAH
TAKHRIJUL HADITS
Faedah atau manfaat dengan adanya
takhrijul hadits antara lain :
a.
Dengan
takhrij akan diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang
sedang menjadi topik kajian.
b.
Dengan
takhrij akan diketahui kuat dan tidaknya periwayatan. Makin banyaknya
periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan
periwayatan lain, berarti kekuatan periwayatannya tidak bertambah.
c.
Dengan
takhrij kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari periwayatan jalur
isnad yang lain. Baik dari segi rawi,isnad maupun matan.
d.
Dengan
takhrij akan dapat diketahui persamaan dan perbedaan atau wawasan yang lebih
luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadits yang terkait.
e.
Dengan
takhrij akan dapat ditentukan status hadits shahih li dzatihi atau shahih
li’ ghairihi, hasan li dzatihi atau hasan li ghairihi. Dengan
demikian juga akan dapat diketahui istilah hadits mutawatir, masyhur, aziz
dan gharib.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara
kharfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk
imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Adapun secara terminologis, takhrij
al-hadits (الحديث تخريج) dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada
sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat
haditsnya bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij
al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits,
menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij.
Adapun obyek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad danmatan.
Matan juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau
teks yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits.
Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan
meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits. Secara metodologis,
takhrij hadits dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu takhrj dengan cara
melacak perawi dari generasi shahabat, takhrij dengan cara melacak awal kata
matan hadits, takhrij dengan cara melacak suku kata atau potongan matan hadits,
takhrij dengan cara melacak tema hadits, dan takhrij dengan cara melacak
sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits.
Adapun
langkah-langkah teknis yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan
takhrij adalah :
Proses Takhrij
Dalam
melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij)
hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Menentukan
teks hadits atau topik terlebih dahulu.
b.
Menentukan atau mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad,
al- Bukhari, Muslim dan sebagainya.
1. Menulusuri hadits yang dimaksud
dari sumber aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal
al-Nabawi karya Dr. A.J. Winsick atau lainnya untuk mengetahui dimana
posisi sebuah hadits yang dicari sesungguhnya berada.
2. Meneliti sanad. Setelah didapati
keberadaan hadits dan diketahui sanadnya dalam kitab tertentu, maka nama-nama
yang terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu. Untuk meneliti
nama-nama dalam sanad (rijal al-hadits) dapat dipergunakan buku-buku
indeks perawi seperti kitab Tahdzib at-Tahdzib karya ibn Hajar
al-‘Asqalani untuk mengetahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan
hubungan dengan perawi lainnya, sehingga ditemukan simpulan tentang nama
sebenarnya, sifatnya dan sebagainya, hiingga diketahui status haditsnya.
3.
Menyimpulkan
kwalitas hadits. Dari langkah keempat tadi peneliti dapat menganalsis sebuah
hadits melalui sanad, baik dari aspek kwantitas dan kualitas, lalu ditentukan
statusnya. Jika dimungkinkan, maka dilakuka istinbath hukum
dari proses tersebut.
Selanjutnya
mengenai tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara
terpisah antara satu dengan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi
tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadits dan menerangkan ditolak
atau diterimanya hadits tersebut. Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi
tujuan takhrij, yaitu : Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, dan
mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat dtierima atau ditolak.
DAFTAR
PUSTAKA
Fani, Metode Takhrij Hadits,
dalam website www.ppnuruliman.com, tanggal 28 September 2012
Hariyanto, Muhsin. Metode Takhrij Hadits, dalam website www.muhsinhar.staff.umy.ac.id, tanggal 28 September 2012
Husnan,
Ahmad. Kajian Hadits Metode Takhrij, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993
Ismail,
Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Manna’
Al- Qaththan, Syaikh. Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2004
Pokja
Akademik Uin Sunan Kalijaga. Al-Hadis,Yogyakarta, 2005
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1996
Unais,
Ibrahim, dkk. al-Mu’jam al-Wasitb,
Kairo: Dar al- Ma’arif, 1972
[1] Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, Al-Hadis, Yogyakarta, 2005, Hlm 128
[2] Muhsin
Hariyanto, Metode Takhrij Hadits,
dalam website www.muhsinhar.staff.umy.ac.id , tanggal 28
September 2012
[3] Fani, Metode Takhrij Hadits, dalam website www.ppnuruliman.com, tanggal 28
September 2012
[4] Syaikh Manna’
Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2004, Hlm 189
[5] Prof. DR. M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 2007, Hlm 41-42
[6] Syaikh Manna’
Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2004, hlm 191
[7] ibid
[8] ibid
hlm 192
[9] Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, Al- Hadis, hlm 136-137
[10] Ibid,
hlm 137
[11] DR. Utang
Ranuwijaya, M.A , Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1996, Hlm 120
[12] Dr. M. Syuhudi
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1991, Hlm
50
[13] Ibid
hlm 51-53
[14] Pokja Akademik
Uin Sunan Kalijaga, Al-Hadis,Yogyakarta, 2005, Hlm 140-141
[15] Ibid hlm
142
[16] Dr. utang
ranuwijaya, m.a, ilmu hadis, Jakarta, gaya media pratama, 1996, hlm 122
[17] Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, Al-Hadis,Yogyakarta,
2005, Hlm 143
[18] Ahmad Husnan, Kajian
Hadits Metode Takhrij, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 1993, Hlm 107
Source : My Friend, Nurul Mafudhoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar