Etika atau akhlak merupakan cabang aksiologi yang membicarakan masalah nilai “betul” (right) dan “salah” (wrong) dalam arti susila (moral) dan tidak susila (immoral). Etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik. Kebajikan sering dilawankan dengan kejahatan-kejahatan (vices), yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang mempunyainya dikatakan sebagai orang yang tidak susila.
Untuk mengetahui suatu tindakan itu susila atau tidak susila oleh Louis O. kattsoff (2004) menggunakan pendekatan kognitif terhadap sebuah pernyataan, yaitu:- Kalimat-kalimat yang kebenarannya tergantung pada makna yang dikandung oleh kata-kata yang menyusunnya disebut analitis. Kalimat sepereti “segi tiga mempunyai tiga sisi” bersifat analitis karena secara defenisi memang suatu segitiga mempunyai tiga sisi.
- Kalimat-kailimat yang kebenarannya yang tergantung pada hasil pengamatan yang bersifat empiris atau secara inderawi disebut sintetis. Kalimat seperti “hujan turun” bersifat sintetis, dan kebenarannya tergantung pada acuannya yang bersifat empiris.
Tetapi jika sebuah kalimat seperti “alangkah indahnya matahari terbenam, maka itu hanya merupakan suatu respon kejiwaan (emosional) yang tidak bisa dianalisis secara empiris dan analitis.
Terhadap pendekatan yang digunakan oleh Kattsof (2004), dapat diterapkan pada pertanyaan oleh seorang dokter “apakah akan saya bunuh saja pasien yang sedang menderita penyakit kanker yang tidak dapat lagi disembuhkan? Dalam hal ini kita menghadapi suatu masalah yang khusus. Selanjutnya kita andaikan ia mengambil keputusan “pembunuhan merupakan keburukan dan seharusnya tidak dikerjakan”. Kalimat ini terdiri dari dua buah pernyataan yaitu “pembunuhan merupakan keburukan” dan “pembunuhan seharusnya tidak dikerjakan”. Seorang positivis akan mengatakan meskipun kalimat pertama bersifat empiris, namun yang kedua tidak demikian halnya, karena kalimat tersebut sekedar mengulang apa yang sudah terkandung dalam kalimat yang pertama. Secara defenisi “kata keburukan” merupakan “sesuatu yang seharusnya tidak dikerjakan”. Karena itu pembunuhan tetap merupakan perbuatan yang tidak susila atau tidak bajik.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Depatemen P. dan K., 1996) etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiaban moral (akhlak).
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan/masyarakat.
Tujuan dari etika yang dapat disimpulkan berdasarkan defenisi di atas yaitu bahwa suatu perbuatan kesusilaan berusaha mencari dan menemukan kebahagiaan atau kenikmatan, Aristoteles mengatakan yang baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia (“berbuatlah susila agar dapat mewujudkan dirimu”).
Kebahagiaan yang dicari oleh manusia bukan kebahagiaan yang egoistis (hedonisme egoistis), tetapi kebahagiaan yang bersifat altruistis (hedonisme altruistis atau utilitarianisme) menjadi alasan etika harus diterapkan dalam dunia profesi hukum. Menurut Suhrawardi (1994:6) hubungan etika dan profesi hukum adalah:
“Etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagi pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi”.
Dari apa yang diuraikan oleh Suhrawardi maka sebuah profesi dituntut tindakan yang bajik, yang mana dapat melaksanakan tugasnya secara professional dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya melahirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Hubungan etika dengan profesi hukum kemudian digunakan dalam pendefenisian tentang etika profesi hukum. Etika profesi hukum adalah dasar atau acuan yang dijadikan pedoman oleh para penegak hukum dalam menegakkan keadilan yang dituangkan dalam bentuk kode etik profesi hukum.
Dihubungkan dengan etika suatu profesi dapat dikatakan bahwa kode etik mencakup usaha untuk menegakkan dan menjamin etika, tetapi dimaksudkan pula untuk melampauinya, misalnya dengan adanya suatu standar professional. Kode etik menimba kekuatan dari etika, tetapi juga memperkuatnya. Kode etik yang tertulis dapat menyumbang bagi pertumbuhan etika dan keyakinan etis bersama. Kode etik menuntut usaha bersama untuk semakin mengerti dan semakin melindungi nilai-nilai manusiawi dan moral profesi (Liliana, 2003:76).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar