Kamis, 28 Maret 2013

PERKAWINAN YANG DILARANG " BERBEDA AGAMA"







MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas dalam mata
 kuliah Hukum Perkawinan Islam
Disusun Oleh Kelompok 4 :
1.      A. Riris Muldani                         12340139
2.      Anis Rosiah                                  12340143
3.      Oni Anggraini Y                          12340144
4.      Zuhrotu Sakinah                         12340146

Dosen :
Fatma Amilia

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

KATA PENGANTAR
الحمد لله ر ب العا لمين و الصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله و أصحا به أجمعين. أشهد أن لا آله إلا ا لله و حده لا شر يك له و أشهد أن محمد عبده ورسو له.
                Puji syukur kehadirat Allah Swt, dengan semua kenikmatan dan kemudahan yang diberikan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw, teladan mulia, inspirator cerdas, motivator tangguh segala aspek kehidupan.
            Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu penyusunan makalah ini. Karena kami menyadari tanpa adanya petunjuk dan bantuan tersebut, makalah ini tidak akan terselesaikan.
            Kami menyadari, makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karana itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan biasa menambah pengetahuan yang lebih luas.


                                                                                                Yogyakarta, .............. 2013

                                                                                                                          Penyusun,



PENDAHULUAN
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang hidup bersama ( bersetubuh ) dan yang tujuannya membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa.
Di negara Indonesia sendiri terdapat perkawinan yang disetujui dan ada pula perkawinan yang dilarang atau tidak disetujui pada peraturan negara. Perkawinan dapat disetujui jika sah secara hukum dan agama. Perkawinan menurut agama dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukun agama yang dianut. Sedangkan perkawinan dikatakan sah menurut negara apabila tercatatkan di lembaga Pencatat Perkawinan.
Sedangkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan negara adalah perkawinan yang tidak sah. Seperti, perkawinan beda agama, karena dalam agama dan negara tidak memperbolehkan dua orang yang berbeda agama melangsungkan pernikahan.  








PEMBAHASAN
·         PERKAWINAN YANG DILARANG
Pada pasal 8 UU perkawinan menetapkan beberapa larangan untuk mengadakan perkawinan antara dua orang yang :
a.       Berhubngan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
b.      Berhubngan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.       Berhubngan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri.
d.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, sadara susuan, dan bibi /paman susuan.
e.       Berhbungan saudara dengan istri atau sebagai atau bibi kemenakan dari istri.
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang  berlaku, dilarang kawin.
Larangan perkawinan menurut ketentuan Pasal 8 UU perkawinan ini pada prinsipnya hampir sama dengan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Perkawinan Islam. Menurut Achmad Ichsan, mengemukakan Hukum Agama Islam, larangan perkawinan dapat dibagi menjadi dua macam apabila dilihat dari sebab-sebabnya, yaitu :
a.       Sebab-sebab yang menjadikan haram untuk selama-lamanya, dalam arti dengan adanya sebab-sebab itu tidak mungkin diadakan perkawinan, karena sebab-sebab itu termasuk larangan mutlak.
b.      Sebab-sebab yang menjadikan haram itu berlaku sementara, dalam arti sebab-sebab itu tidak ada lagi, perkawinan tidak termasuk perkawinan yang  dilarang, sebab-sebab itu menurut hukum termasuk larangan nisbi ( relatif ).
Adapun sebab-sebab yang menjadikan haram untuk selama-lamanya atau merupakan larangan mutlak menurut Ny. Soemiyati, SH, yaitu karena berlainan agama, hubungan darah dan hubungan semenda.
Sedangkan haram dinikah untuk sementara menrut Ny. Soemiyati, SH ialah larangan perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu kurun tertentu saja, karena adanya sebab yang mengharamkan. Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan, yaitu :
a.       Perkawinan antara seorang pria dengan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara kandung, saudara seayah atau saudara seibu maupun saudara susuan.
b.      Perkawinan dengan seorang wanita yang masih dalam masa idah baik idah karena kematian maupn karena talak.
c.       Perkawinan dengan seorang wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
d.      Perkawinan dengan lebih dari empat orang wanita.

Sedangkan Sayuti Thalib, SH, menyatakan bahwa pada dasarnya seorang laki-laki islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja. Sungguh pun demikian juga diberikan pembatasan-pembatasan, dimana seorang laki-laki Muslim dilarang kawin dengan perempuan-perempuan tertentu. Sifat larangan itu karena : berlainan agama, larangan kawin karena hubungan darah, karena hubungan susuan, karena hubungan semenda dan larangan poliandri. Sayuti Thalib, SH selanjutnya mengmukakan bahwa larangan itu dengan tegas dijelaskan dalam ayat-ayat Qur’an pada surah al-Baqarah dan surah an-Nisa. Berikut ini secara singkat akan dikemukakan larangan –larangan perkawinan tersebut, yaitu :
1.      Larangan perkawinan karena berlainan agama.
a.       Larangan ini terdapat dalam QS al-Baqarah : 221, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Jangan kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman.
2.      Jangan kamu kawini laki-laki musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin ) hingga dia beriman.
3.      Orang musyrik itu membawa ke neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada kebaikan dan kemampuan.
b.      Dihubungkan dengan QS al-Maidah : 5 dapatlah kita ketahi bahwa khusus terhadap orang yang beragama yahudi dan nasrani, sungguhpun dalam kenyataan sekarang mereka berlainan agama dengan orang islam, tetapi terhadap mereka berlaku ketentuan tersendiri. Wanita-wanitanya halal dikawini. Sebabnya ialah karena mereka itu sebenarnya sama-sama kedatangan kitab Ilahi seperti orang islam pula. Mereka disebut ahlu al kitab atau ahlulkitab, orang yang kedatangan kitab Tuhan.
2.      Larangan perkawinan karena hubungan darah.
Larangan ini terdapat dalam QS an-Nisa : 23 yang berbunyi sebagai berikut :
Diharamkan bagi kamu untuk mengawini :
a.       Ibumu
b.      Anak-anakmu perempuan
c.       Saudara perempuanmu
d.      Saudara perempuan ibumu
e.       Saudara perempuan bapakmu
f.       Anak perempuan saudara laku-lakimu
g.      Anak perempuan saudara perempuan.
3.      Laranga perkawinan karena hubungan susuan.
Larangan perkawinan karena hubungan susuan terdapat dalam QS an-Nisa : 23 itu juga berupa
Diharamkan bagi kamu untuk mengawini :
a.       Ibu susumu
b.      Saudara perempuan sesusuanmu.
4.      Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Larangan perkawinan karena hubngan semenda juga terdapat dalam QS an-Nisa : 23 , yaitu sebagai lanjutan ayat yang telah disebutkan diatas tadi, yaitu
Diharamkan bagi kamu mengawini :
a.       Ibu istrimu ( mertua )
b.      Anak tirimu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu kawinkan anak tiri itu
c.       Istri anak shulbimu ( menantumu yang perempuan )
d.      Dua wanita yang bersaudara.
5.      Larangan poliandri
Larangan poliandri terdapat dalam QS an-Nisa : 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Diharamkan pula kamu mengawini perempuan yang sedang bersuami.
Dari uraian tentang larangan-larangan perkawinan diatas baik diatur dalam UU Perkawinan dan Hukum Perkawinan Islam, dapat disimpulkan bahwa macam-macam larangan perkawinan itu adalah :
a.       Larangan perkawinan berdasarkan perbedaan agama
b.      Larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah
c.       Larangan perkawinan berdasarkan hubungan perkawinan atau semenda.
d.      Larangan poliandri.
Walaupun demikian tidak berarti bahwa dengan adanya larangan-larangan diatas, maka dua orang yang akan mengadakan perkawinan dan mempnyai hubungan darah, perbedaan agama dan sebagainya itu tidak bisa kawin karena berdasarkan ketentuan UU Perkawinan dan Yurisprudensi mereka bisa mengadakan perkawinan setelah mendapat izin atau dispensasi dari pengadilan. Tanpa izin atau dispensasi dari pengadilan mereka tidak bisa mengadakan perkawinan.
Pasal 8 sub f Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan dilarang antar  dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari ketentuan pasal 8 sub f ini dapat disimpulkan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas diatur dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan dari hukum masing-masing agama yang diakui di Indonesia.
Oleh karena dalam UU Perkawinan tidak  ada ketentuan yang melarang adanya perkawinan antar agama, maka untuk menentukan ada ata tidaknya larangan untuk mengadakan perkawinan antar agama adalah hukum agama itu sendiri.
Akibat dari tidak diaturnya perkawinan antar agama dalam UU Perkawinan menyebabkan timbulnya berbagai penafsiran tentang boleh atau tidaknya perkawinan tersebut. Hal ini biasanya dijumpai jika ada dua orang yang berbeda agama akan mengadakan perkawinan dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya, maka Pegawai Pencatat Perkawinan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil tidak akan mau melakukan pencatatan perkawinan mereka.
Selain pandangan menurut Al-Quran dan Undang-Undang terdapat beberapa macam pandangan lain tentang hukum beda agama, yaitu:

1.        Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan beda agama diatur dalam Bab VI mengenai Larangan Kawin, pasal 40 dan 44, serta Bab X mengenai Pencegahan Perkawinan, pasal 61. Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam, ( pasal 40 huruf C ), sementara seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam, ( pasal 44 ). Walau bagian ini secara harfiah terpisah dari ketentuan mengenai rukun dan syarat perkawinan, namun pasal 18 menjelaskan bahwa sesungguhnya Bab VI ini memiliki hubungan dengan Bab IV bagian keda mengenai calon mempelai. Pasal 18 menyebutkan: “ Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”. Beberapa pandangan tentang hukm beda agama:
2.        Pandangan dalam Fiqh
Bagi paraa ahli hukum islam, teks QS. Al-Baqarah (2:221) dipandang memberikan sebuah muatan hukum tersendiri dalam bidang perkawinan. Surah ini menjadikan dasar utama dalam mengontruksi ketentan kawin lintas agama. Terdapat kitab fiqh yang membatasi yaitu Kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib karya Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Kitab Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq. Secara umum, pada dasarnya ketiga kitab fiqh tersebut mengharamkan perkawinan muslim dengan nonmuslim. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti pada QS Al-Maidah ayat 5, memjadikan pergeseran dari tingkat hukum haram menjadi makruh, mubah dan lainnya pada kasus laiki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab.

3.        Kontruksi Wacana Organisasi Keagamaan
·           Majelis Hukum Islam (MUI)
Pada tanggal 1 Juni 1980, MUI mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kawin lintas agama. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraan mengenai kawin lintas agama yang telah dibicarakan pada Konferensi Tahunan Kedua MUI. Fatwa tersebut berisi dua butir ketetapan, yaitu:
a.    Seorang perempuan Islam tidak boleh dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam.
b.    Laki-laki muslim tidak diizinkan mengawini perempuan bukan islam, termasuk Kristen (Ahli Kitab).
·           Muhammadiyah
Muhammadiyah dlaam masalah kawin lintas agama sama dengan pendapat jumhur (mayoritas) fuqaha. Laki-laki muslim tidak dibenarkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan perempuan muslim juga tidak dibenarkan dikawinkan dengan laki-laki musyrik dan ahli kitab. Karena muhammadiyah juga mengamati ada dua akibat negatifnya yaitu beralihnya agama suami pada agama yang dianut oleh istrinya dan agama yang diant oleh anaknya sama dengan agama yang dianut oleh ibunya. Jadi muhammadiyah mempunyai keputusan yang sama dengan MUI.
·           Nadlatul Ulama (NU)
Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan Hindu dan Budha mutlak haram, karena pereempuan-perempuan tersebut termasuk golongan musyrik. Sementara itu, perkawinan laki-laki dengan perempuan Kristen atau Katholik hukumnya haram.

Perkawinan antar agama tersebut dilarang karena juga menimbulkan dampak negatif, yakni dalam perkawinan antar agama, agama islam masih mengkaitkan dengan jaminan keselamatan agama piihak suami yang beragama Islam, lebih-lebih terhadap anak-anak yang sembilan puluh prosen diasuh oleh ibu yang beragama lain. “ Dengan demikian dalam perkawinan laki-laki muslim denagn perempuan bukan muslim, suami tidak mungkin memegang pimpinan rumah tangga karena posisi yang lemah, sehingga sang istri akan memegang kekuasaan penuh dalam rumah tangga atau suami harus kalah ( tunduk ) dibawah kekuasaan istri, maka izin perkawinan tadi menjadi fasad ( rusak ), karena siasat tidak menghendakinya.














PENUTUP

·                Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak semua perkawinan dapat dilangsungkan, karena  dalam UU perkawinan pasal 8 Sub f menetapkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Seperti halnya dengan perkawinan beda agama, karena semua agama melarang penganutnya untuk mengadakan perkawinan dengan penganut agama lain, selain itu didalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Perkawinan beda agama dilarang karena menimbulkan dampak negatif yaitu, karena anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama ( lelaki muslim, perempuan non muslim ) akan cenderung mengikuti agama sang ibu karena anak lebih dekat kepada ibunya, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan sang suami tunduk kepada istrinya.









DAFTAR PUSTAKA

·           KOMPILASI HUKUM ISLAM, Karya Anda, Surabaya, 1991
·           Eoh, PERKAWINAN ANTAR AGAMA, Raja Grafindo Persaja, jakarta, 1996
·           Suhadi, KAWIN LINTAS AGAMA, LKiS, Yogyakarta, 2006
·           Karsayuda. M, PERKAWINAN BEDA AGAMA, Total Media, Yogyakarta, 2006
·           Zubairie. A, PELAKSANAAN HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN, TB Bahagia, Pekalongan, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar