MAKALAH
Diajukan guna
memenuhi tugas dalam mata
kuliah Hukum Perkawinan Islam
Disusun Oleh
Kelompok 4 :
1.
A.
Riris Muldani 12340139
2.
Anis
Rosiah 12340143
3.
Oni
Anggraini Y 12340144
4.
Zuhrotu
Sakinah 12340146
Dosen :
Fatma Amilia
ILMU
HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA
PENGANTAR
الحمد لله ر ب العا لمين و الصلاة والسلام على أشرف الأنبياء
والمرسلين وعلى آله و أصحا به أجمعين. أشهد أن لا آله إلا ا لله و حده لا شر يك له
و أشهد أن محمد عبده ورسو له.
Puji syukur kehadirat
Allah Swt, dengan semua kenikmatan dan kemudahan yang diberikan kepada kami,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga tercurah
kepada Rasulullah Muhammad saw, teladan mulia, inspirator cerdas, motivator
tangguh segala aspek kehidupan.
Kami berterima kasih kepada semua
pihak yang telah bersedia membantu penyusunan makalah ini. Karena kami
menyadari tanpa adanya petunjuk dan bantuan tersebut, makalah ini tidak akan
terselesaikan.
Kami
menyadari, makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karana itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan biasa menambah pengetahuan yang lebih luas.
Yogyakarta,
.............. 2013
Penyusun,
PENDAHULUAN
Perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang
hidup bersama ( bersetubuh ) dan yang tujuannya membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa.
Di
negara Indonesia sendiri terdapat perkawinan yang disetujui dan ada pula
perkawinan yang dilarang atau tidak disetujui pada peraturan negara. Perkawinan
dapat disetujui jika sah secara hukum dan agama. Perkawinan menurut agama dikatakan
sah apabila memenuhi syarat dan rukun agama yang dianut. Sedangkan perkawinan
dikatakan sah menurut negara apabila tercatatkan di lembaga Pencatat
Perkawinan.
Sedangkan
perkawinan yang dilarang oleh agama dan negara adalah perkawinan yang tidak
sah. Seperti, perkawinan beda agama, karena dalam agama dan negara tidak
memperbolehkan dua orang yang berbeda agama melangsungkan pernikahan.
PEMBAHASAN
·
PERKAWINAN YANG
DILARANG
Pada pasal 8 UU perkawinan
menetapkan beberapa larangan untuk mengadakan perkawinan antara dua orang yang
:
a.
Berhubngan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
b.
Berhubngan darah
dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.
Berhubngan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri.
d.
Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, sadara susuan, dan bibi /paman susuan.
e.
Berhbungan
saudara dengan istri atau sebagai atau bibi kemenakan dari istri.
f.
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Larangan perkawinan menurut
ketentuan Pasal 8 UU perkawinan ini pada prinsipnya hampir sama dengan
ketentuan yang berlaku dalam Hukum Perkawinan Islam. Menurut Achmad Ichsan,
mengemukakan Hukum Agama Islam, larangan perkawinan dapat dibagi menjadi dua
macam apabila dilihat dari sebab-sebabnya, yaitu :
a.
Sebab-sebab yang
menjadikan haram untuk selama-lamanya, dalam arti dengan adanya sebab-sebab itu
tidak mungkin diadakan perkawinan, karena sebab-sebab itu termasuk larangan
mutlak.
b.
Sebab-sebab yang
menjadikan haram itu berlaku sementara, dalam arti sebab-sebab itu tidak ada
lagi, perkawinan tidak termasuk perkawinan yang dilarang, sebab-sebab itu menurut hukum
termasuk larangan nisbi ( relatif ).
Adapun sebab-sebab yang menjadikan
haram untuk selama-lamanya atau merupakan larangan mutlak menurut Ny.
Soemiyati, SH, yaitu karena berlainan agama, hubungan darah dan hubungan
semenda.
Sedangkan haram dinikah untuk
sementara menrut Ny. Soemiyati, SH ialah larangan perkawinan dengan seorang
wanita dalam waktu kurun tertentu saja, karena adanya sebab yang mengharamkan.
Apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan, yaitu :
a.
Perkawinan
antara seorang pria dengan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara
kandung, saudara seayah atau saudara seibu maupun saudara susuan.
b.
Perkawinan
dengan seorang wanita yang masih dalam masa idah baik idah karena kematian
maupn karena talak.
c.
Perkawinan
dengan seorang wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.
d.
Perkawinan dengan
lebih dari empat orang wanita.
Sedangkan Sayuti Thalib, SH,
menyatakan bahwa pada dasarnya seorang laki-laki islam diperbolehkan kawin
dengan perempuan mana saja. Sungguh pun demikian juga diberikan
pembatasan-pembatasan, dimana seorang laki-laki Muslim dilarang kawin dengan
perempuan-perempuan tertentu. Sifat larangan itu karena : berlainan agama,
larangan kawin karena hubungan darah, karena hubungan susuan, karena hubungan
semenda dan larangan poliandri. Sayuti Thalib, SH selanjutnya mengmukakan bahwa
larangan itu dengan tegas dijelaskan dalam ayat-ayat Qur’an pada surah
al-Baqarah dan surah an-Nisa. Berikut ini secara singkat akan dikemukakan
larangan –larangan perkawinan tersebut, yaitu :
1.
Larangan perkawinan
karena berlainan agama.
a. Larangan
ini terdapat dalam QS al-Baqarah : 221, dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Jangan
kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman.
2. Jangan
kamu kawini laki-laki musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin ) hingga dia
beriman.
3. Orang
musyrik itu membawa ke neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada kebaikan dan
kemampuan.
b. Dihubungkan
dengan QS al-Maidah : 5 dapatlah kita ketahi bahwa khusus terhadap orang yang
beragama yahudi dan nasrani, sungguhpun dalam kenyataan sekarang mereka
berlainan agama dengan orang islam, tetapi terhadap mereka berlaku ketentuan
tersendiri. Wanita-wanitanya halal dikawini. Sebabnya ialah karena mereka itu
sebenarnya sama-sama kedatangan kitab Ilahi seperti orang islam pula. Mereka
disebut ahlu al kitab atau ahlulkitab, orang yang kedatangan kitab Tuhan.
2.
Larangan
perkawinan karena hubungan darah.
Larangan
ini terdapat dalam QS an-Nisa : 23 yang berbunyi sebagai berikut :
Diharamkan
bagi kamu untuk mengawini :
a. Ibumu
b. Anak-anakmu
perempuan
c. Saudara
perempuanmu
d. Saudara
perempuan ibumu
e. Saudara
perempuan bapakmu
f. Anak
perempuan saudara laku-lakimu
g. Anak
perempuan saudara perempuan.
3.
Laranga
perkawinan karena hubungan susuan.
Larangan
perkawinan karena hubungan susuan terdapat dalam QS an-Nisa : 23 itu juga
berupa
Diharamkan
bagi kamu untuk mengawini :
a. Ibu
susumu
b. Saudara
perempuan sesusuanmu.
4.
Larangan
perkawinan karena hubungan semenda
Larangan
perkawinan karena hubngan semenda juga terdapat dalam QS an-Nisa : 23 , yaitu
sebagai lanjutan ayat yang telah disebutkan diatas tadi, yaitu
Diharamkan
bagi kamu mengawini :
a. Ibu
istrimu ( mertua )
b. Anak
tirimu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, dan apabila istri belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu kawinkan
anak tiri itu
c. Istri
anak shulbimu ( menantumu yang perempuan )
d. Dua
wanita yang bersaudara.
5.
Larangan
poliandri
Larangan
poliandri terdapat dalam QS an-Nisa : 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Diharamkan
pula kamu mengawini perempuan yang sedang bersuami.
Dari
uraian tentang larangan-larangan perkawinan diatas baik diatur dalam UU
Perkawinan dan Hukum Perkawinan Islam, dapat disimpulkan bahwa macam-macam
larangan perkawinan itu adalah :
a.
Larangan
perkawinan berdasarkan perbedaan agama
b.
Larangan
perkawinan berdasarkan hubungan darah
c.
Larangan perkawinan
berdasarkan hubungan perkawinan atau semenda.
d.
Larangan
poliandri.
Walaupun
demikian tidak berarti bahwa dengan adanya larangan-larangan diatas, maka dua
orang yang akan mengadakan perkawinan dan mempnyai hubungan darah, perbedaan
agama dan sebagainya itu tidak bisa kawin karena berdasarkan ketentuan UU
Perkawinan dan Yurisprudensi mereka bisa mengadakan perkawinan setelah mendapat
izin atau dispensasi dari pengadilan. Tanpa izin atau dispensasi dari
pengadilan mereka tidak bisa mengadakan perkawinan.
Pasal
8 sub f Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan dilarang antar dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari ketentuan pasal
8 sub f ini dapat disimpulkan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara
tegas diatur dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada
larangan dari hukum masing-masing agama yang diakui di Indonesia.
Oleh
karena dalam UU Perkawinan tidak ada
ketentuan yang melarang adanya perkawinan antar agama, maka untuk menentukan
ada ata tidaknya larangan untuk mengadakan perkawinan antar agama adalah hukum
agama itu sendiri.
Akibat
dari tidak diaturnya perkawinan antar agama dalam UU Perkawinan menyebabkan
timbulnya berbagai penafsiran tentang boleh atau tidaknya perkawinan tersebut.
Hal ini biasanya dijumpai jika ada dua orang yang berbeda agama akan mengadakan
perkawinan dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya, maka
Pegawai Pencatat Perkawinan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil tidak akan mau
melakukan pencatatan perkawinan mereka.
Selain
pandangan menurut Al-Quran dan Undang-Undang terdapat beberapa macam pandangan lain
tentang hukum beda agama, yaitu:
1.
Kompilasi Hukum
Islam
Perkawinan beda agama
diatur dalam Bab VI mengenai Larangan Kawin, pasal 40 dan 44, serta Bab X
mengenai Pencegahan Perkawinan, pasal 61. Seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam, ( pasal 40 huruf C
), sementara seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama islam, ( pasal 44 ). Walau bagian ini secara
harfiah terpisah dari ketentuan mengenai rukun dan syarat perkawinan, namun
pasal 18 menjelaskan bahwa sesungguhnya Bab VI ini memiliki hubungan dengan Bab
IV bagian keda mengenai calon mempelai. Pasal 18 menyebutkan: “ Bagi calon
suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat
halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”. Beberapa pandangan
tentang hukm beda agama:
2.
Pandangan dalam Fiqh
Bagi
paraa ahli hukum islam, teks QS. Al-Baqarah (2:221) dipandang memberikan sebuah
muatan hukum tersendiri dalam bidang perkawinan. Surah ini menjadikan dasar
utama dalam mengontruksi ketentan kawin lintas agama. Terdapat kitab fiqh yang
membatasi yaitu Kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib karya Abdurrahman al-Jaziri,
Kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan Kitab Fiqh as-Sunnah karya
as-Sayyid Sabiq. Secara umum, pada dasarnya ketiga kitab fiqh tersebut
mengharamkan perkawinan muslim dengan nonmuslim. Hanya ada beberapa
pengecualian, seperti pada QS Al-Maidah ayat 5, memjadikan pergeseran dari
tingkat hukum haram menjadi makruh, mubah dan lainnya pada kasus laiki-laki
muslim mengawini perempuan ahli kitab.
3.
Kontruksi Wacana
Organisasi Keagamaan
·
Majelis Hukum
Islam (MUI)
Pada tanggal 1 Juni 1980, MUI
mengeluarkan fatwa berkaitan dengan kawin lintas agama. Fatwa ini merupakan
tindak lanjut dari pembicaraan mengenai kawin lintas agama yang telah
dibicarakan pada Konferensi Tahunan Kedua MUI. Fatwa tersebut berisi dua butir
ketetapan, yaitu:
a. Seorang
perempuan Islam tidak boleh dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam.
b. Laki-laki
muslim tidak diizinkan mengawini perempuan bukan islam, termasuk Kristen (Ahli
Kitab).
·
Muhammadiyah
Muhammadiyah dlaam masalah kawin lintas
agama sama dengan pendapat jumhur (mayoritas) fuqaha. Laki-laki muslim tidak
dibenarkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan perempuan muslim juga tidak
dibenarkan dikawinkan dengan laki-laki musyrik dan ahli kitab. Karena muhammadiyah
juga mengamati ada dua akibat negatifnya yaitu beralihnya agama suami pada
agama yang dianut oleh istrinya dan agama yang diant oleh anaknya sama dengan
agama yang dianut oleh ibunya. Jadi muhammadiyah mempunyai keputusan yang sama
dengan MUI.
·
Nadlatul Ulama
(NU)
Perkawinan laki-laki muslim dengan
perempuan Hindu dan Budha mutlak haram, karena pereempuan-perempuan tersebut
termasuk golongan musyrik. Sementara itu, perkawinan laki-laki dengan perempuan
Kristen atau Katholik hukumnya haram.
Perkawinan
antar agama tersebut dilarang karena juga menimbulkan dampak negatif, yakni
dalam perkawinan antar agama, agama islam masih mengkaitkan dengan jaminan
keselamatan agama piihak suami yang beragama Islam, lebih-lebih terhadap
anak-anak yang sembilan puluh prosen diasuh oleh ibu yang beragama lain. “
Dengan demikian dalam perkawinan laki-laki muslim denagn perempuan bukan
muslim, suami tidak mungkin memegang pimpinan rumah tangga karena posisi yang
lemah, sehingga sang istri akan memegang kekuasaan penuh dalam rumah tangga
atau suami harus kalah ( tunduk ) dibawah kekuasaan istri, maka izin perkawinan
tadi menjadi fasad ( rusak ), karena siasat tidak menghendakinya.
PENUTUP
·
Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak semua perkawinan dapat dilangsungkan, karena dalam UU perkawinan pasal 8 Sub f menetapkan
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Seperti halnya dengan perkawinan beda
agama, karena semua agama melarang penganutnya untuk mengadakan perkawinan
dengan penganut agama lain, selain itu didalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 1
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya.
Perkawinan beda agama dilarang karena
menimbulkan dampak negatif yaitu, karena anak yang dilahirkan dari perkawinan
beda agama ( lelaki muslim, perempuan non muslim ) akan cenderung mengikuti
agama sang ibu karena anak lebih dekat kepada ibunya, sehingga hal tersebut
akan mengakibatkan sang suami tunduk kepada istrinya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
KOMPILASI HUKUM
ISLAM, Karya Anda, Surabaya, 1991
·
Eoh, PERKAWINAN
ANTAR AGAMA, Raja Grafindo Persaja, jakarta, 1996
·
Suhadi, KAWIN
LINTAS AGAMA, LKiS, Yogyakarta, 2006
·
Karsayuda. M,
PERKAWINAN BEDA AGAMA, Total Media, Yogyakarta, 2006
·
Zubairie. A,
PELAKSANAAN HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA ISLAM DAN KRISTEN, TB Bahagia,
Pekalongan, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar