Konvensi Jenewa merupakan salah satu konvensi yang berlangsung di Jenewa, Swiss.
Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang
dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3
Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan
merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata.
Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all
circumstances be treated humanely, without any adverse distinction
founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or
other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum
hanya diberikan pada personel militer.
Konvensi-konvensi Jenewa
Konvensi-konvensi
Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan
yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law)
mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa,
dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan
hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II.
Persetujuan-persetujuan
tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang
sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949
tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi
orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan
perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah
perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan
perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh
ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi
Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan
tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi
Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol
Jenewa.
"Orang yang dilindungi berhak, dalam segala
keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak
keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta
adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan
dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan
dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik.
Perempuan dilindungi
secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap
pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh
(indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan
kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan
dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa
pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini
politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan
keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan
sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa
Keempat)
Sejarah
Pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memoir of
Solferino (Kenangan Solferino), mengenai kengerian perang. Pengalaman
Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
- dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan
- dibentuknya perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya
Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya
Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun
1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk
pertama kalinya dianugerahkan.
Kesepuluh pasal
Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus
1864 oleh dua belas negara. Clara
Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian
Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi
konvensi tersebut pada tahun 1882.
Perjanjian yang kedua
diadopsi untuk pertama kalinya dalam Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Laut, yang ditandatangani
pada tanggal 6 Juli 1906 dan secara spesifik berkenaan dengan anggota Angkatan
Bersenjata di laut. Perjanjian ini dilanjutkan dalam Konvensi Jenewa mengenai
Perlakuan Tawanan Perang, yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli 1929 dan
mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 1931.
Terinspirasi oleh
gelombang antusiasme akan kemanusiaan dan perdamaian yang muncul seusai Perang
Dunia II dan oleh kegusaran publik atas berbagai kejahatan perang yang terungkap dalam Pengadilan Nuremberg,
maka pada tahun 1949 diadakan serangkaian konferensi dengan hasil berupa
diteguhkan, diperluas, dan diperbaharuinya ketiga Konvensi Jenewa yang sudah
ada dan diadopsinya Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa
Perang, sebuah perjanjian yang baru dan rinci.
Meskipun sudah cukup
rinci, di kemudian hari perjanjian-perjanjian tersebut didapati masih belum
lengkap. Justru, hakikat konflik bersenjata (armed conflicts) itu sendiri
mengalami perubahan sejak dimulainya era Perang Dingin sehingga banyak pihak akhirnya
berpendapat bahwa Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyikapi realitas yang
sebagian besar sudah punah. Di satu pihak, sebagian besar konflik bersenjata
yang terjadi dalam era Perang Dingin adalah konflik bersenjata internal atau
perang saudara.
Di lain pihak,
semakin banyak dari perang yang terjadi adalah perang asimetris. Lebih-lebih,
konflik bersenjata moderen memakan korban yang semakin lama semakin banyak di
kalangan orang sipil. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kebutuhan untuk
menyediakan perlindungan yang nyata bagi orang dan objek sipil pada masa
konflik bersenjata, dan ini berarti perlunya dilakukan pembaharuan terhadap
Konvensi Den Haag 1899 dan 1907.
Dengan mengingat
perkembangan-perkembangan tersebut, maka pada tahun 1977 diadopsi dua Protokol
yang memperluas Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dengan sejumlah ketentuan yang
memberikan perlindungan tambahan. Pada tahun 2005, sebuah Protokol ketiga
diadopsi pula. Protokol yang ringkas ini menetapkan sebuah tanda perlindungan (protective
sign) tambahan bagi dinas kesehatan angkatan bersenjata, yaitu Kristal
Merah, sebagai alternatif untuk lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang
dipakai di mana-mana itu, yaitu bagi negara-negara yang merasa kedua lambang
ini kurang tepat.
Konvensi-konvensi dan persetujuan-persetujuannya
Konvensi-konvensi
Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata,
dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta
dalam permusuhan, antara lain:
- kombatan yang terluka atau sakit
- tawanan perang
- orang sipil
- personel dinas medis dan dinas keagamaan
Konvensi
Dalam ranah
diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa,
yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti
perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu
direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan
Konvensi Jenewa yang keempat.
- Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
- Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
- Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
- Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949
Satu rangkaian
konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut
sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih sederhana, “Konvensi
Jenewa”.
Protokol
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi
dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
- Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
- Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
- Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Aplikasi
Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci
mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah
negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Pasal 2 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Internasional
Pasal ini menyatakan
bahwa Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik internasional
di mana sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang telah
meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut. Terutama:
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared war) antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan pengertian yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi 1949.
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang yang formal, misalnya aksi polisional (police action).
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut “menerima dan menerapkan ketentuan-ketentuan” Konvensi-konvensi ini.
Pasal 1 Protokol I
lebih lanjut mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan dominasi penjajah
atau pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik internasional. Bila
kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka perlindungan yang
disediakan oleh Konvensi-konvensi tersebut dianggap berlaku sepenuhnya.
Pasal 3 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Non-internasional
Pasal ini menyatakan
bahwa aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana terdapat di
dalamnya juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak berkarakter
internasional tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara.
Aplikabilitas pasal ini bersandar pada penafsiran tentang istilah konflik
bersenjata. Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik antara pasukan
Pemerintah dan pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak atau
pada konflik lain yang mempunyai seluruh karakteriastik perang tetapi
berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil
individu yang melakukan penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap
sebagai konflik bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik
bersenjata yang tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dalam konflik
bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi Jenewa
bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah terbatas
sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam redaksi
Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari
Konvensi-konvensi Jenewa akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat. Ringkasnya:
- Orang yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara manusiawi (termasuk anggota militer yang sudah tidak ambil bagian aktif lagi karena sakit, cedera, atau tertawan).
- Korban luka dan korban sakit dikumpulkan dan dirawat serta diperlakukan dengan respek.
Penegakan
Kuasa Perlindungan
Istilah kuasa
perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik berdasarkan
Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut
serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan
sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan
berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara
pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau
implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan
konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai
pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.
Pelanggaran berat
Tidak semua
pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang
paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
- pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
- dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
- memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai
pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
- penyanderaan
- penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
- deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang menjadi
peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga
berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau
yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta
mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun
kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku
bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah
Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran
yang diduga telah terjadi.
Konvensi-konvensi Jenewa dewasa ini
Meskipun peperangan
telah mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa
1949, konvensi-konvensi tersebut masih dianggap sebagai batu penjuru Hukum
Humaniter Internasional kontemporer. Konvensi-konvensi tersebut
melindungi kombatan yang berada dalam keadaan hors de combat (tidak dapat ikut bertempur
lagi) serta melindungi orang sipil yang terjebak dalam kawasan perang.
Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan fungsinya dalam semua konflik
bersenjata internasional yang belum lama ini terjadi, termasuk Perang
Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi Chechnya
(1994-sekarang), dan Perang di Georgia (2008).
Peperangan moderen
terus mengalami perubahan, dan dewasa ini proporsi konflik bersenjata yang
bersifat non-internasional semakin meningkat [misalnya: Perang Saudara di Sri
Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata di Kolombia. Pasal 3
Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut, dengan dilengkapi oleh
Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut menguraikan standar hukum
minimum yang harus diikuti untuk konflik internal. Mahkamah internasional,
terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu
mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya
mengenai kasus Jaksa Penuntut v.
Dusko Tadic tahun
1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa
pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga
pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan
Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary
international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas
kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal
menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
source : wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar