ciri-ciri fiqih


 Ciri-ciri khas tersebut membedakan fiqh dari ilmu-ilmu yang lain. Ciri-ciri fiqh tersebut ialah sebagai berikut :1. Al Ilmu bi Al Ahkam (pengetauan tentang semua hukum)Para ulama mengungkapkan fiqh adalah Al Ilmu bi Al Ahkam (pengetahuan tentang hukum-hukum). Maksudnya ialah : Ma’rifat Al Insan biha (pengetahuan manusia tentang hukum-hukum). Jadi fiqh adalah sifat keilmuan yang dimiliki manusia. Manusia yang memiliki sifat tersebut dipandang sebagai faqih (ahli fiqh). Demikianlah hakikat fiqh.Dalam ciri yang pertama fiqh tersebut di atas tampak menonjol wujud dua unsur, yaitu manusia (orang) dan pengetahuannya. Wujud fiqh memerlukan adanya manusia (orang) dan juga memerlukan pengetahuan. Ringkasnya, pengetahuan itulah yang disebut fiqh.2. Bi Al Ahkam (tentang hukum-hukum) Pengetahuan manusia bermacam-macam. Tidak semua pengetahuan disebut fiqh. Fiqh adalah pengetahuan manusia khusus mengenai hukum-hukum saja.
Adapun pengetahuan manusia tentang selain hukum tidak disebut fiqh.Pengetahuan tentang hukum-hukum tersebut sudah ada pada masa Sahabat Nabi saw, kaena sudah ada sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang hukum-hukum. Sahabat-sahabat yang mengetahui hukum-hukum tersebut disebut Faqih (faqih), yaitu orang yang ahli hukum-hukum.Ketika itu pengetahuan tentang hukum-hukum tersebut belum dibukukan dalam buku-buku fiqh, namun pengetahuannya itu sendiri sudah ada. Pada masa selanjutnya pengetahuan hukum tersebut ditulis dalam buku-buku, sehingga lahirlah buku-buku fiqh. Orang yang hanya membawa atau mempunyai buku fiqh, meskipun banyak dan mampu membacanya, tidak disebut faqih (ahli fiqh).3. Asy Syar’iyah (yang diambil dari Syariat)Di atas telah dijelaskan bahwa hakikat fiqh adalah pengetahuan manusia khusus mengenai hukum-hukum saja. Seperti kita ketahui sumber hukum yang dikenal dan berlaku dalam masyarakat manusia bermacam-macam. Fiqh bukan pengetahuan menusia tentang semua hukum apa saja, tetapi khusus tentang hukum-hukum yang diambil dari syara’ saja. Inilah hubungan fiqh dengan syariat.Dalam pengertian fiqh di atas diungkapkan dengan kata Asy Syar’iyah. Pengertian kata Asy Syar’iyah tersebut ialah :“Hukum-hukum yang diambil (diperoleh) dari syara’, di mana Nabi Muhammad yang mulia diutus untuk menyampaikannya.” Al Bannani menjelaskan maksudnya lebih jelas lagi yaitu :“Hukum-hukum yang diambil dari dalil-dalil yang ditetapkan Pencipta Syariat.”Pencipta syariat adalah Allah Ta’ala. Jelaslah bahwa fiqh tidak terlepas dari syariat. Bahkan ia lahir dalam pengakuan syariat itu sendiri.4. Al ‘Amaliyah (berkenaan dengan kaifiyyah amal perbuatan)Kata Al ‘Amaliyah memberikan batasan bahwa fiqh terbatas pada hukum-hukum yang berkenaan dengan kaifiyyah (cara) amal perbuatan saja. Dengan pembatasan ini, maka pengetahuan manusia tentang akidah tidak termasuk fiqh, karena akidah bukan kaifiyyah amal perbuatan. Dari sini jelaslah ruang lingkup fiqh.Sebenarnya batasan tersebut tidaklah mutlak, karena dalam fiqh trdapat juga hukum-hukm yang tidak berkenaan dengan kaifiyyah amal perbuatan, seperti hukum khamar yang telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya mengalami perubahan, yaitu dari najis menjadi suci. Karena itu, sebagaimana dikatakan Bannany “hukum-hukum fiqh itu berkenaan dengan kaifiyyah (cara pelaksanaan) amal perbuatan adalah kebanyakannya (pada umumnya) saja.”, bukan mutlak semua hukum dalam fiqh seperti itu.Ada ulama, seperti Al Amidi, mengganti kata Al ‘Amaliyah (amal perbuatan) dalam pengertian fiqh ini dengan kata Al Far’iyah (cabang). Tujuan Al Amidi ialah untuk membedakan fiqh dari pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh. Misalnya asas bahwa dalil-dalil adalah hujjah (menjadi pegangan dalam menetapkan hukum). Dalil ialah seperti Al Quran, Sunnah dan lain-lain. Pengetahuan tentang asas tersebut termasuk hukum-hukum pokok (primer), bukan bidang fiqh, karena fiqh membahas hukum-hukum yang bukan pokok (primer). Sebab itu pantas disebut dengan cabang (sekunder).5. Al Muktasib Min Adillatiha At Tafshiliyyat (pengetahuan tersebut diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terperinci bagi hukum-hukum tersebut)Ciri ini mengandung informasi tentang bagaimana lahirnya fiqh. Kalimat ini mengungkapkan hakikat bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum amal perbuatan mukallaf (orang yang diwajibkan melaksanakan hukum) tersebut tidak ditetapkan berdasarkan keinginan ahli fiqh, tetapi berdasarkan dalil-dalil (dasar-dasar) hukum. Dengan demikian jelaslah bahwa fiqh bukan kecenderungan atau keinginan manusia, tetapi kehendak Pencipta hukum, yaitu Allah Ta’ala. Kehendak Pencipta hukum tersebut diselami melalui dalil (dasar-dasar) hukum.Jelas dari pengertian fiqh di atas bahwa fiqh mempunyai sumber yang lebih dikenal dengan istilah dalil. Sumber itu disebutkan juga “mashdar” (yang biasanya diterjemahkan dengan sumber) dan “ashlu” (sumber hukum).
Category: 4 komentar

4 komentar:

Miss Aisy ~ mengatakan...

terima kasih atas perkongsian.

A. Riris Muldani mengatakan...

sama2 sahabat....

Unknown mengatakan...

Kak itu sumbernya dari buku apa ya?

Unknown mengatakan...

Berasal dari kitab mana ya kang

Posting Komentar