imam maliki


RAGAM MADZHAB
Madzhab fiqh secara internal, adalah otonom. Namun secara eksternal, merupakan bagian dari entitas kehidupan muslim, yang saling tergantung dengan unsure lain dari entitas itu, sehingga menampakkan suatu kesatuan entitas kehidupan manusia. Atas perihal tersebut, manakala dilakukan pendekatan historis terdapt hubungan yang segnifikan antara kalam dengan fiqh; atau antara madzhab kalam dengan madzhab fiqh. Kalam bermulai dari pertikaian politik antar keluarga, sebagai akibat pembunuhan Ustman bin Affan yang tidak kunjung selesai, dan berpuncak pada peristiwa tarkhim (arbitrase) di antara dua “partai”. Doktrin kalam kemudian menjadi wacana alam, dan selanjutnya menjadi madzhab kalam : Ahlussunnah (sunni), Syi’ah (syi’i),dan Khowarijj. Demikian pula, secar garis besar, madzhab fiqh dapat dikelompokkan menjadi 3 madzhab utama : sunni, syi’I dan khowarijj. Dan tiga madzhab itu berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya, dalam madzhab sunni hingga kini, berkembang empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Relasi antara madzhab kalam dengan madzhab fiqh, tercermin dalam sejumlah proposisi yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dalam Fiqh al-Akbar. Apabila demikian, apakah perkembangan madzhab fiqh berhubungan dengan pertikaian, atau dukungan politik?[1]
Dalam masyarakat Islam dewasa ini, madzhab fiqh lebih dikenal ditimbang madzhab yang lainnya, termasuk kalam. Boleh jadi hal itu bersifat praktis, oleh karena kepraktisannya digunakan dalam kehidpan sehari-hari, yang “harus” merujuk kepada madzhab. Sering kali menjadi ungkapan yang popular bila ditemukan masalah fiqh yang kontroversional. Oleh karena itu, bila ada ungkapan yang menyatakan “perbandingan Madzhab”, dapat diperkirakan bahwa ungkapan itu dipahami sebagai “perbandingan madzhab fiqh”. Berkenaan dengan hal itu muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan madzhab fiqh itu? Jawaban atas pertanyaan itu telah di ungkapkan oleh beberapa orang pakar, mulai yang sderhana sampai dengan yang rumit. A. Djazuli (1991:106) misalnya, menyebut madzhab dengan aliran-aliran dalam fiqh. Madzhab, menurut A. Djazuli, bermula dari perbedaan dalam penggunaan metode ijtihad, yang menimbulkan perbedaan pendapat. Kemudian terbentuk kelompok pendukung, yang terdiri atas para murid imam mujtahid, selanjutnya berkembang menjadi madzhab sebagaimana dikenal dewasa ini.
Sementara itu, Huzaemah (1997:72) menyatakan bahwa pengertian asalnya, “madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau meng-istinbath-kan hokum Islam”. Selanjutnya, madzhab berkembang menjadi kelompok ummat Islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid tertentu; atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hokum Islam. Sedangkan Amir Syarifuddin (1997:31) menggambarkan fiqh pada masa Imam mujtahid, yang kemudian terbentuk berbagai madzhab, ditandai oleh beberapa kegiatan. Pertama, menetapkan metode berfikir untuk memahami sumber hokum. Kedua, menetapkan istilah hokum yang digunakan dalam fiqh. Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum.
Dari pandangan ketiga guru besarfiqh itu, terdapat beberapa konsep kunci yang sama : 1.) Imam Mujtahid, 2.) Metode Ijtihad (Istinbath) hukum, 3.)  Fiqh (hokum Islam), 4.) Madzhab sebagai aliran fiqh, kemudian menjadi komunitas, dan 5.) Kelompok pendukung atau pengikut. Di samping itu, 6.) Istilah hokum yang digunakan, dan 7.) Penyusunan kitab fiqh. Berdasarkan konsep kunci tersebut, menunjukkan bahwa anatomi madzhab fiqh sebagai komunitas, yang dapat diteliti lebih lanjut, terutama tentang dinamika internal masing-masing madzhab; serta relasi antar madzhab dalam entitas masyarakat Islam.[2]
Untuk pembahasan lebih lanjut, terutama untuk memudahkan pelaksanaan penelitian, dalam tulisan ini yang di maksud madzhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqh, yang kemudian menjadi komunitas dalam masyarakat Islam. Madzhab, bagaikan aliran sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan bertemu dengan aliran yang lain; yang juga bercabang dan beranting. Oleh sebab itu, dalam realitas masyarakat Islam terdapat berbagai madzhab., sebagaimana telah dikemukakan, yakni : hanafi, maliki, syafi’I dan hanbali. Selnjutnya maka kami akan menguraikan dengan jelas salah satu dari 4 madzhab tersebut yakni madzhab maliki.

B.BIOGRAFI IMAM MALIK
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq. ,
Imam Malik menyatakan:
وأنا أيضا يا أمير المؤمنين لأم أزل أنتظرك منذ اليوم؛ إن العلم يؤتى ولا يأتي، وإن ابن عمك صلى الله عليه وسلم هو الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع
“Aku juga menunggumu seharian wahai Amir al-Mu’minin; sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu SAW.  yang dia datang bersama ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia menjadi rendah.”[3]
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.
         Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.
C.SEJARAH SINGKAT IMAM MALIK

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''[4]
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.

D.Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki

 

Mengenai al-Muwaththa’, Imam Syafi’i berkata:
ما على طهر الأرض كتاب أصح بعد كتاب الله من كتاب مالك
“Tidak ada satu kitab pun di atas permukaan bumi ini yang lebih sahih setelah kitab Allah dari ada kitab Malik.”[5]
Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:
وهو كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه

“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan Syafi’i RA..”[6]

 

Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).[7]
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

E.Pengendali kekuasaan (otoritas) tasyri’ dan Sumber Tasyri’
Pengendali tasyrik dalam Mazhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari sumber-sumber tasyrik yang dipegang teguh oleh komunitas mazhab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Imam Malik, di samping seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, di mana dalam meriwayatkan Hadits, Imam Malik menyandarkan periwayatan kepada orang yang menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini dapat dilihat dari kitab al-Muwaththa’.[8]
Secara ringkas, manhaj yang ditempuh di dalam Mazhab Maliki ia mendasarkan pendapat fiqhiyyah pada al-Qur’an; apabila tidak diperoleh informasi pasti dari al-Qur’an, maka mereka menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits Nabi, Fatawa Sahabat dan keputusan hukum mereka, dan ‘amal penduduk Madinah); kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang kepada kedua di atas, maka mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu mencari kesamaan illat antara hukum yang sedang dicari pemecahan [furu’] dengan hukum yang dinashkan [ashl]); di sampng qiyas, terdapat juga al-mashlahah, sadd al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat.[9] Berikut penjelasannya:
1.      Kitab Allah
Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi hujjah dan dalil terhadap berbagai permasalahan hukum,[10]  dan sebagai sumber hukum primer yang digunakan tanpa pra-syarat dalam berbagai implikasinya.[11]
Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang mewajibkannya untuk ditakwil. Di dalam memahami nash, ia menggunakan mafhum al-muwafaqah dengan fahw al-khithab, seperti dalam firman-Nya berikut:[12]
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما بأكلون في بطونه نارا وسيصلون سعيرا
Larangan yang terdapat dalam nash dipahami secara fahw al-khithab, yaitu seperti merusaknya, dari pada hanya memakannya.[13]
Mereka juga memperhatikan illat hukum, seperti dalam firman-Nya berikut:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah’.” (QS. Al-An’am/6: 145).
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs); yang diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang wahab penyakit. Dengan demikian, setiap makanan yang termasuk dalam kategori rijs adalah haram juga.[14]
2.      Sunnah
Sunnah di dalam mazhab Maliki – sebagaimana mazhab lainnya – dianggap sebagai sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam Mazhab ini juga mengambil dari beberapa perkataan beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tabiin yang tidak mungkin bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. adapun setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa tersebut tadi mendekati derajat tawatur dari segi kekuatan istidlal.[15]
Diriwayatkan dari Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Rusyd di dalam al-Muqaddimat al-Mumahhidat, bahwa Imam Malik mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad, sebagaimana yang dilakukan Imam Malik, dan ia mendahulukan al-ra’y, sebagaimana di dalam Hadits mengenai khiyar al-majlis, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:[16]
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا
Hadits di atas menyatakan bahwa dua orang pelaku kontrak dapat membatalkan kontrak selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak oleh Imam Malik dengan perkataannya:
ليس عندنا حد معروف
“Kita tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah bahwa majlis tidak memiliki masa tertentu yang dimaklumi.[17]
Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini, terutama Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas atau maslahah. Di sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits, tetapi juga faqih al-ra’y.[18]
3.      Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang wajib diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia mengamalkan fatwa sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan amalan yang disandarkan pada Nabi SAW. dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin diketahui melainkan melalui jalan naql.[19]
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak diketahui kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila terdapat pertentangan antara dua ashl, maka ia memiliki di antara keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan paling relevan dengan prinsip umum hukum Islam.[20]
4.      Qiyas, Maslahah Mursalah, dan Istihsan
Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah mempermudah, dan tidak mempersusus, hal ini sesuai dengan karya monumentalnya Al-Muwaththa’, yang berarti mempermudah.[21]
Imam Malik mengartikan qiyas sebagai:
القياس إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في وصف علة الحكم
“Qiyas ialah menghubungkan hukum suatu perkara yang tidak dinashkan dengan hukum suatu perkara yang dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat hukum.”[22]
الاستحسان ترجيح حكم المصلحة الجزئية على حكم القياس
“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang partikular atau hukum (yang dihasilkan) oleh qiyas.”[23]
Imam Malik menyebut pengambilan al-mashalih ini sebagai al-istihsan, sebagaimana perkataannya:
الاستحسان تسعة أعشار العلم
“Istihsan ini sembilan per sepuluh ilmu.”
Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya hanya mempersempit pandangan Islam, sehingga Ibnu al-Wahb berkata:
المغرق في القياس يكاد يفارق السنة
“Tenggelam dalam qiyas hampir dapat meninggalkan Sunnah.”
Imam al-Syathibi menyatakan:
فإنه استرسل فيه استرسال المدل العريق في فهم المعاني المصلحية نعم مع مراعاة مقصود الشارع أن لا يخرج عنه ولا يناقض أصلا من أصوله حتى لقد استشنع العلماء كثيرا من وجوه استرساله زاعمين أنه خلع الربقة وفتح باب التشريع وهيهات ما أبعده من ذلك ! رحمه الله بل هو الذي رضي لنفسه في فقهه بالاتباع بحيث يخيل لبعض أنه مقلد لمن قبله بل هو صاحب البصيرة في دين الله
“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam pemahaman makna yang maslahat dnegan tetap memelihara maksud Syari’, tidak lari darinya, dan tidak (pula) menentangi ashl dari ushul-nya, sehingga banyak ulama memandang buruk pada aspek penguraiannya (berkenaan dengan maslahat) dan mencurigai bahwa dia (Imam Malik) hanya melepaskan kesulitan (dalam mengkaji dalil-dalil), dan kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru). Mustahil! Begitu terhindar beliau dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk diikuti, di mana sebagian manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang sebelumnya, bahkan dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”[24]
F.Karakteristik Mazhab Maliki
Karakteristik mazhab Maliki dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek metodologi fikih (ushul al-fiqh) dan aspek substansi fikih (al-fiqh).
1.      Aspek metodologi (ushul al-fiqh)
Abu Ameenah menyebut sebanyak sembilan mashdar, yaitu al-Qur’an, Sunnah, amal penduduk Madinah, Ijmak Sahabat, pemikiran individu sahabat, qiyas, adat istiadat penduduk Madinah, istishlah, dan ‘urf.
Abu Zahrah menyebut mashdar dari ushul mazhab Maliki sebanyak delapan, yaitu al-Kitab, Sunnah, amal penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dan al-dzara’i’
Melihat banyaknya sumber-sumber yang digunakan mazhab maliki, maka tidak heran bila ulama mazhab ini memiliki keluasan di dalam berijtihad, sehingga mereka mampu melahirkan banyak sekali kaidah,  baik dalam aspek metodologis (Ushul al-Firh) ataupun asapek produk (Fiqh).
Dalam masalah amal penduduk Madinah, Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah daripada menggunakan hadits Ahad, karena itulah, amal penduduk Madinah merupakan salah satu landasan ushulnya. Terdapat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang menekankan pengertian ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam sejumlah hukum cabang, di antaranya: Perkataannya: “Perkara ini merupakan yang diketahui kebanyakan manusia dan ahli ilmu di negeri kita……”; dan juga perkataannya” ”Perkara ini merupakan perkara yang terdapat pada kita....”; demikian juga perkataannya: ”Dan hal yang demikian masih terdapat pada ahli ilmu di negeri kita,”.
2.      Aspek substansi fikih (al-fiqh)
Elastisitas dan toleransi terhadap mazhab lainnya, dan syariat samawi sebelumnya, yang terlihat dari hal berikut:
1)      Dalam pengambilan syariat sebelumnya, selama belum terdapat nasikh yang menghapusnya, sebagaiman dalam hal ji’alah dan kifalah, yang merupakan syariat Nabi Yusuf AS., sebagaimana dalam firman-Nya:
قاَلُوْا نَفْقِدُ صُواَعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جاَءَ بِه حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَناَ بِه زَعِيْمٌ
Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf/12: 72).
Demikian juga kebolehan al-ijarah dan pernikahan atas dasar manfaat (pragmatis), sebagaimana perkataan Nabi Syu’arib kepadaMusa berikut:
قاَلَ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هاَتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَماَنِيَ حِجَجٍ
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (QS. Al-Qashash/28: 27).
2)      Keboleh untuk mengikuti hal yang bertentangan di dalam masalah furu’, seperti meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat, atau salah satu dari rukunnya, yaitu apabila Imam menganggapnya sebagai sesuatu yang bukan syarat atau rukun shalat, sebagaimana dalam mazhab Hanafiyah.
G.Ta’asub(fanatic) Madzhab
Ta’asub (fanatik) madzhab adalah sikap mengikuti madzhab tertentu secara berlebihan, memandang madzhabnya yang paling benar dan madzhab lain salah. Ta’asub madzhab ini pernah mewarnai kehidupan umat islam di sekitar abad ke-13H, yang bekasnya kadang-kadang masih terasa sampai sekarang.
Imam Malik berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah olehmu segala pendapatku. Apa yang sesuai dengan kitab Alloh dan sunnah, ambillah dia, dan yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah dia.”[25]


Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar