Teori Takhrij Al-Hadis

A.    Urgensitas Kegiatan Takhrij Al-Hadis

       Takhrij al-hadis merupakan pintu masuk bagi kegiatan penelitian hadis. Penguasaan terhadap materi ini akan memberikan kemudahan kepada para pengkaji hadis Nabi Saw dalam menelusuri hadis-hadis yang ingin dicari di dalam kitab-kitab hadis. Terutama sekali takhrij al-hadis dengan cara konvensional (manual/text book) sehingga para pengkaji hadis dapat mencari sendiri hadis-hadis dari kitabnya yang asli (mu’tabarah).

Kegiatan takhrij al-hadis sangatlah penting bagi seorang pengkaji hadis. Dengan kegiatan ini, seorang pengkaji hadis akan mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan dikaji dan dipergunakan serta diamalkan kandungan hukum/ajarannya apalagi akan disampaikan kepada masyarakat secara luas, baik melalui media ceramah keagamaan maupun lainnya. Pengkaji hadis juga akan mengetahui berbagai periwayat yang telah meriwayatkan hadis dimaksud, dan mengetahui ada atau tidaknya korborasi (syahid dan mutabi’) dalam sanad bagi hadis yang sedang dikajinya.
Berdasarkan paparan di atas, menurut M. Syuhudi Ismail paling tidak ada tiga alasan utama yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-hadis ini. Ketiga alasan yang dimaksud adalah:
1.    Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan dikaji.
Suatu hadis akan sulit diteliti status dan kualitasnya jika terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunan sanad dan matannya secara benar dan pada akhirnya hadis tersebut akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul sebuah hadis yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij al-hadis perlu dilakukan terlebih dahulu.
2.    Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan dikaji.
Hadis tang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad, dan mungkin saja salah satu dari sanad hadis tersebut berkualitas da’if sedangkan yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan mana sanad yang da’if dan mana yang sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang bersangkutan. Hal ini hanya akan dapat diketahui melalui kegiatan takhrij al-hadis.
3.    Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi’ pada sanad hadis yang dikaji
Ketika salah satu sanad hadis diteliti, maka mungkin ada periwayat lain yang sanadnya mendukung sanad hadis yang sedang diteliti. Dukungan (corroboration) itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi Saw, dan inilah yang disebut sebagai syahid. Sedangkan bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat sahabat maka disebut mutabi’. Dalam penelitian sebuah sanad hadis, syahid yang didukung oleh sanad yang kuat maka akan dapat memperkuat sanad hadis yang sedang diteliti. Begitu pula mutabi’ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad hadis yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’ tersebut. Untuk mengetahui apakah suatu sanad hadis memiliki syahid dan mutabi’, maka seluruh sanad hadis terkait harus dikemukakan/diketahui. Oleh karena itu, kegiatan takhrij al-hadis harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrij al-hadis, maka seluruh sanad untuk hadis yang diteliti tidak dapat diketahui secara pasti.
Pentingnya kegiatan takhrij al-hadis ini juga dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan sebagai berikut:
”Mengetahui masalah takhrij, kaidah dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i agar mampu melacak suatu hadis sampai pada sumber aslinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan takhrij ini adalah sangat besar, terutama bagi orang yang mempelajari hadis dan ilmunya. Dengan takhrij, seseorang mampu mengetahui tempat hadis pada sumber aslinya, yang mula-mula ditulis oleh para imam ahli hadis. Kebutuhan takhrij adalah penting sekali karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan dapat meriwayatkannya, kecuali setelah mengetahui ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadis dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena itu, masalah takhrij ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya”.

B.    Pengertian Takhrij Al-Hadis
Kata takhrij (تخريج) adalah bentuk masdar dari fi’il madli (خرج – يخرج - تخريجا) yang secara bahasa berarti “mengeluarkan sesuatu dari tempatnya”. Secara etimologis kata takhrij juga berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz (jelas). Ia juga bisa berarti al-istinbat (menyimpulkan), al-tadrib (meneliti) dan al-taujih (menerangkan). Sedangkan menurut Mahmud Tahhan takhrij berarti ijtima’ amrain mutadladain fi syaiin wahid (kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah).
Adapun secara terminologis, takhrij adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan. Dengan demikian, takhrij al-hadis mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1.    Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan periwayatnya dengan sanad lengkap serta dengan penyebutan metode yang mereka tempuh. Inilah yang dilakukan oleh para penghimpun dan penyusun kitab hadis, seperti al-Bukhari yang menyusun Sahih al-Bukhari, Muslim yang menyusun Sahih Muslim dan yang lainnya.
2.    Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab ataupun karya yang dijadikan sumber acuan. Kegiatan ini seperti yang dilakukan oleh al-Baihaqi yang banyak mengambil hadis dari kitab al-Sunan karya Abu Hasan al-Basri al-Safar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
3.    Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab yang disusun mukharrij-nya langsung. Kegiatan seperti ini salah satunya dilakukan oleh para Ibn Hajar al-Asqalani yang menyusun kitab Bulug al-Maram.
4.    Mengemukakan hadis berdasarkan kitab tertentu dengan disertai metode periwayatan dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya serta kualitas hadisnya. Pengertian takhrij seperti ini seperti yang dilakukan oleh Zainud al-Din Abd al-Rahman ibn al-Husayn al-Iraqi yang melakukan takhrij terhadap hadis-hadis dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din karya al-Gazali dengan judul bukunya Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ihya’.
5.    Mengemukakan letak asal suatu hadis dari sumbernya yang asli, yakni berbagai sumber kitab hadis dengan dikemukakan sanadnya secara lengkap untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap kualitas hadis yang bersangkutan. Pengertian hadis yang kelima ini nampaknya yang paling tepat dalam konteks penelitian hadis yang banyak dilakukan di zaman sekarang.


C.    Manfaat Takhrij al-Hadis
Salah satu manfaat dari adanya kegiatan takhrij al-hadis adalah dapat memberikan informasi bahwa suatu hadis tertentu: apakah berkualitas sahih, hasan, ataukah daif, bahkan mungkin bisa jadi maudhu’ setelah diadakan penelitian (takhrij) baik dari segi matan maupun sanadnya. Di samping itu, melalui kegiatan takhrij al-hadis ini para pengkaji hadis dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadis dan juga berbagai redaksi dari sebuah matan hadis.
Lebih jauh beberapa manfaat dari kegiatan takhrij al-hadis antara lain sebagai berikut:
1.    Memberikan informasi bahwa apakah suatu hadis itu termasuk kategori hadis sahih, hasan, ataupun da’if, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya;
2.    Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadis adalah mardud (tertolak).
3.    Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
4.    Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal di mana suatu hadis berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
5.    Dapat menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang dirujuknya. Semakin banyak kitab asal yang memuat sebuah hadis, maka semakin banyak pula perbendahaaran sanad yang dapat diketahui.
6.    Dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak, maka dapat diketahui apakah riwayat suatu hadis itu munqati’, mu’dal dan lain sebagainya. Demikian pula dapat diketahui apakah status periwayatannya itu sahih, hasan atau da’if.
7.    Dapat memperjelas kualitas suatu hadis dengan banyaknya riwayat. Suatu hadis yang da’if kadang diperoleh melalui suatu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan menemukan riwayat lain yang sahih. Hadis yang sahih itu akan mengangkat kualitas hadis yang da’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
8.    Dapat diketahui penilaian para ulama mengenai kualitas suatu hadis.
9.    Dapat memperjelas periwayat hadis yang samar. Dengan adanya takhrij kemungkinan dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara legkap dan tepat.
10.    Dapat memperjelas periwayat hadis yang namanya tidak diketahui, yaitu melalui perbandingan sanad yang ada.
11.    Dapat menafikan pemakaian lambing periwayatan “’an” dalam periwayatan hadis oleh seorang mudallis.
12.    Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
13.    Dapat menjelaskan nama periwayat yang sebenarnya.
14.    Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
15.    Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
16.    Dapat menghilangkan unsur syaz.
17.    Dapat membedakan hadis yang mudraj.
18.    Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
19.    Dapat membedakan antara periwayatan secara lafaz dan periwayatan secara makna.
20.    Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadis, dan lain-lain.
Dengan demikian, melalui kegiatan takhrij al-hadis peneliti dapat mengakses berbagai sanad dari sebuah hadis serta dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari hadis tersebut.

D.    Literatur-Literatur yang Dibutuhkan
Kegiatan penghimpunan hadis tidaklah dilakukan oleh suatu tim tertentu, tetapi dilakukan oleh ulama hadis secara individual dan dalam masa yang selalu tidak bersamaan. Proses penghimpunannya pun berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Kriteria dan metode dalam proses penghimpunan hadisnya juga ditentukan oleh masing-masing penghimpun hadis. Oleh karen itu, sangatlah wajar jika kemudian kitab-kitab hadis tersebut hadir dengan beraneka ragam, baik dilihat dari kriteri, metode, maupun jumlah hadis yang dimuatnya.
Kitab hadis yang jumlahnya banyak itu tidak seluruhnya beredar dalam masyarakat. Yang banyak beredar di tengah masyarakat, misalnya, kitab-kitab himpunan riwayat hadis yang dikenal dengan istilah al-kutub al-sittah (sahih al-Bukhari, sahih Muslim, sunan Abi Daud, sunan al-Tirmizi, sunan al-Nasa’i, dan sunan Ibn Majah). Yang terkenal lainnya adalah sunan al-Darimi, muwatta’ imam Malik, dan musnad Ahmad ibn Hanbal. Jika digabung dengan ketiga kitab hadis tersebut, kemudian dikenal istilah al-kutub al-tis’ah.
Di samping itu, ada juga ulama hadis yang memfokuskan pada penghimpunan kutipan hadis-hadis yang telah dimuat oleh ulama hadis sebelumnya, baik yang ada dalam al-kutub al-sittah maupun dalam al-kutub al-tis’ah. Kitab-kitab hadis yang berisi himpunan kutipan hadis-hadis tersebut juga disebut sebagai kitab hadis, namun bukanlah sebagai sumber primer melainkan hanya sebagai sumber sekunder. Di antara contoh terkenal kitab hadis yang berisi himpunan kutipan hadis adalah: Riyadl al-Salihin karya al-Nawawi, Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani, al-Lu’lu’ wa al-Marjan karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi, dan al-Taj al-Jami’ li al-Usul fi Ahadis al-Rasul karya Mansur Ali Nashif.
Kitab-kitab tersebut sangat bermanfaat untuk menemukan topik-topik masalah tertentu yang dibahas oleh berbagai hadis Nabi Saw, minimal untuk tahap awal pengkajian. Namun jika hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab himpunan kutipan hadis tersebut akan dijadikan bahan kajian ilmiah atau dalil/argumentasi suatu masalah apalagi masalah hukum maka hadis yang bersangkutan harus dicari pada sumber primernya. Satu-satu cara untuk hal itu adalah dengan melakukan kegiatan takhrij al-hadis.
Berikut adalah uraian singkat mengenai beberapa literatur yang dibutuhkan oleh para pengkaji hadis yang mesti disiapkan ketika akan melakukan kegiatan takhrij al-hadis.
Ada beberapa kitab hadis yang diperlukan untuk melakukan proses kegiatan takhrij al-hadis. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain adalah:
1. Kitab هداية الباري إلى ترتيب أحاديث البخاري
Kitab ini ditulis oleh Abdur Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Sahih al-Bukhari. Lafal-lafal hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam Sahih al-Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kitab ini. Dengan demikian, perbedaan lafal dalam matan hadis riwayat al-Bukhari tidak dapat diketahui melalui kitab ini.

2. Kitab معجم الألفاظ ولا سيما الغريب منها أو فهرس لترتيب أحاديث صحيح مسلم
Kitab ini merupakan salah satu juz, yakni juz ke-V dari Kitab Sahih al-Muslim yang disunting oleh Muhammad ‘Abd al-Baqi. Juz V ini merupakan kamus terhadap Juz ke-I sampai IV yang berisi:
Ø    Daftar urutan judul kitab serta nomor hadis dan juz yang memuatnya.
Ø    Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang termuat dalam Sahih al-Muslim.
Ø    Daftar awal matan hadis dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, bila kebetulan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari.

3. Kitab مفتاح الصحيحين
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadis tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal hadis lafal matan hadis.

4. Kitab البغية في ترتيب أحاديث الحلية
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq AI-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nu’aim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul: Hilyah al-Auliya’ wa Tabaqah al-Asfiya’. Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab:

5. Kitab مفتاح الترتيب لأحاديث تاريخ الخطيب 
Kitab ini disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikh Bagdadi yang terdiri atas 4 jilid.


6. Kitab الجامع الصغير
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti (w.91h). Kitab kamus hadis tersebut memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disusun oleh As-suyuti juga, yakni kitab Jam' al-Jawami’.
Hadis yang dimuat dalam kitab Jami’ al-Shagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan dan nama-nama Mukharijnya (periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya). Selain itu, hampir setiap hadis yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.

7. Kitab المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوى 
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan kitab ini adalah Dr. Arnold John Wensinck (w. 1939 m), seorang profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafal matan hadis. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis. Dengan demikian, kitab Mu'jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadis, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu'jam ini terdiri dari 7 juz dan dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam sembilan kitab hadis, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Darimi, Muwatta’ Malik, dan Musnad Ahmad.

E.    Dua Bidang Kajian dalam Takhrij Al-Hadis
Dalam disiplin ilmu hadis dinyatakan bahwa unsur pokok yang terdapat pada sebuah hadis terdiri dari dua hal, yakni sanad dan matan. Oleh karena itu, penelitian terhadap kedua unsur pokok hadis tersebut menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa salah satu pengertian yang dikandung dalam istilah takhrij al-hadis adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya (kualitas hadis) jika diperlukan. Kualitas hadis yang dimaksudkan tentunya terkait dengan dua unsur pokok hadis tersebut, kualitas sanad hadis dan kualitas matan hadis.
Sementara ini ada kesan di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan intelektual, bahwa kritik hadis adalah sebuah upaya untuk melecehkan kedudukan dan fungsi hadis dalam agama Islam. Oleh karenanya mereka menganggap bahwa istilah ’kritik hadis’ itu datang dari kaum orientalis Barat dan pada gilirannya kritik hadis selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif.
Anggapan tersebut tentulah tidak benar sama sekali. Sebab kritik hadis yang dalam terminologi ilmu hadis disebut naqd al-hadis adalah upaya untuk menyeleksi hadis sehingga dapat diketahui mana hadis yang sahih dan mana yang tidak sahih. Istilah ini juga tidak berasal dari Barat, melainkan justru datang dari ulama Islam sendiri. Misalnya, Ibn Abi Hatim al-Razi (w.327 H) dalam kitabnya al-Jarh wa al-Ta’dil telah menyebutkan istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad). Tampaknya hanya karena ketidaktahuan saja tentang hal-hal yang berkaitan dengan naqd al-hadis, anggapan di atas itu kemudian muncul di kalangan masyarakat.
Sebagai ilustrasi tentang tidak benarnya anggapan di atas, dalam bukunya yang berjudul Kritik Hadis, Ali Mustafa Yaqub menjelaskan sebuah kisah tentang praktek kritik hadis yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar ibn al-Khattab. Kisah ini terdokumentasi dalam kitab Sahih al-Bukhari. Disebutkan bahwa suatu malam ketika Umar bin al-Khattab sedang berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu Ghassan sedang mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui identitasnya. ”Apakah Umar sudah tidur?” begitu terdengar suara lantang dari luar pintu.
Dengan penuh tanda tanya kemudian Umar membukakan pintu. Begitu pintu dibuka, Umar terkejut karena yang datang adalah tetangganya sendiri, seorang Anshar dari keluarga Umayyah bin Zaid. Ia baru pulang dari mengikuti pengajian Nabi Muhammad Saw. ”Ada apa, apakah pasukan Ghassan sudah datang?”, tanya Umar. ”Tidak”, jawabnya. ”Ada peristiwa yang lebih gawat dari itu”, tambahnya. ”Apakah itu?” tanya Umar penasaran. ”Rasulullah Saw telah menceraikan istri-istrinya”, jawabnya.
Umar tercengang mendengar jawaban itu. Bukan lantaran salah seorang istri Nabi Saw itu kebetulan putri Umar sendiri (Hafsah), melainkan benarkah Nabi Saw melakukan hal itu. Untuk menyakinkan kebenaran berita tersebut, kemudian esok harinya pagi-pagi benar Umar menghadap Nabi Saw dan setelah diizinkan masuk, Umar bertanya kepada Nabi Saw: ”Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”. Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi Umar, kemudian Nabi Saw menjawab: ”Tidak”. Begitulah, akhirnya Umar mengetahui bahwa Nabi Saw hanya bersumpah untuk tidak ’mengumpuli’ istri-istrinya selama satu bulan.
Kisah Umar di atas merupakan salah satu contoh bahwa Umar bin al-Khattab telah melakukan pengecekan terhadap kebenaran suatu berita yang bersumber dari Rasulullah Saw. Selain Umar, ada beberapa sahabat lain yang melakukan hal yang sama, antara lain, Abu Bakar al-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan lain-lain. Bahkan Abu Bakar terkadang minta didatangkan saksi bahwa Rasulullah Saw pernah mengatakan sesuatu.
Pengecekan hadis yang dilakukan oleh para sahabat merupakan cikal bakal munculnya ilmu kritik hadis (ilmu naqd al-hadis). Dalam  konteks buku ini  kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”, atau  “memisahkan yang baik dari yang buruk.” Kata “an-naqd” ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata “an-naqd” dalam pengertian tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadis. Namun kata yang memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu kata tamyiz yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.  Bahkan seorang pakar hadis abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w. 261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang mebahas metode kritik hadis dengan al-Tamyiz. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabang ilmu hadis, al-jarh wa at-tadil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Memperhatikan pengertian dan perkembangan istilah tersebut,  dalam bahasa Indonsia, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan identik dengan kata “menyeleksi” yang secara leksikal memiliki arti menyaring atau memilih.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan hukum atau hujjah. Hadis ada yang  dapat dipakai dan ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis/kritik hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya. Obyek kritik hadis secara garis besar terbagi ke dalam dua wilayah utama, yakni kritik sanad hadis dan kritik matan hadis. Dalam perkembangannya, kedua obyek kritik hadis tersebut dikenal dengan istilah naqd al-kharijy (kritik ekstern hadis/sanad hadis) dan naqd al-dakhily (kritik intern hadis/matan hadis). Berikut adalah uraian kedua bagian ilmu kritik hadis tersebut.

1.    Naqd Al-Kharijy (Kritik Ekstern/Sanad Hadis)
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadis selalu bersandar kepadanya. Yang berkaitan dengan istilah sanad adalah kata-kata seperti al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas yang artinya; menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal, dan mengangkat), maksudnya ialah menyandarkan hadis kepada orang yang menyatakanya.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadis Nabi Saw hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan (hafalan) dari para perawarinya selama kurun waktu yang cukup panjang. Hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan/pemalsuan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian kaum muslimin yang bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis. Upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi Saw. Hal ini juga dikarenakan bahwa dalam periwayatan hadis, ada beberapa metode yang digunakan, yaitu: al-sima’, al-qira’ah, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-washiyah dan al-wijadah.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad hadis. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi, dan (2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu/sami’na dan akhbarāni. Sedangkan lambag periwayaran hadis dengan metode al-sima’ yang tidak disepakati penggunaannya adalah qala lana dan dzakara lana. Menambahkan hal itu, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, di antaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakarani.
Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hadis hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, dan kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya.
Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadis yang lain. Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit).
Jadi sebenarnya sejarah penelitian/kritik sanad sudah ada sejak jaman sahabat, misalnya ada hadis yang dikeluarkan seseorang, maka para sahabat akan mengecek siapa yang meriwayatkan hadis itu, bagaimana keadaan orang itu dan kualitas hafalan serta tinggkah-lakunya, karena hal itu akan mempengaruhi kualitas hadis. Sedang masa setelah para sahabat bisa kita lihat dari produk kitab-kitab dari para ulama tentang kriteria dan kualits sanad atau perawi yang tentunya dia akan berpengaruh kepada kualitas hadis.
Singkatnya studi sanad hadis berarti mempelajari rangkaian perawi dalam sanad, dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum, dan sebab-sebab kuat dan lemah secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqati’nya perawi. Pembahasan/ penelitian ini (kualitas perawi) terangkum dalam kitab/ilmu Rijal al-Hadis, atau ilmu Riwayah. Telah banyak kitab-kitab yang berisi biografi perawi, sampai kepada ketersambungan masa hidup, dan kualits pribadi mereka (perawi). Ilmu itu semua terangkum dalam al-Jarh wa al-Ta’dil.



2.    Naqd Al-Dakhily (Kritik Intern/Matan Hadis)
Penyampaian hadis oleh Nabi pada awalnya berjalan alamiah, langsung diterima oleh sahabat tanpa melalui syarat yang ketat atau dengan menggunakan al-adā’ wa at-tahammul yang rumit, karena beberapa faktor yang menyebabkan pengetahuan para sahabat tidak sama, ada yang langsung dia dengar dari Nabi ada yang lewat orang lain, dari sinilah lahir embrio salah satu cabang ilmu hadis yakni ilmu riwayah. Dengan kata lain ilmu ini adalah metode penelitian (penilaian) hadis melalui siapa perawi hadisnya hal ini akan sama dengan penelitian sanad hadis dan lebih jauh lagi akan menginjak kepada penelitian matan hadis.
Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad, dengan definisi lebih sederhana bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad), dengan kata lain yang dimaksud matan ialah materi hadis atau lafal hadis itu sendiri.
Sejak kapan muncul kritik matn hadis? Pada masa Rasulullah hal ini sudah dilakukan oleh para sahabat ketika rasulullah masih hidup. Kritik matn dilakukan pada waktu itu menurut Ahmad Fudhaili telah membentuk pola yang selanjutnya sebagai inpirasi metode selanjutnya, yaitu metode perbandingan (comparation), atau pertanyaan silang dan silang rujuk (cross question and cross reference).
Maksud kritik matn pada masa sahabat adalah sikap kritis para sahabat terhadap sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka. Sebagai contoh, Zubair ibn Harb menceritakan kepada kami (muslim), ia berkata Jabir menceritakan kepada kami dari Mansur dari Hilal ibn Yusuf dari Abi Yahya dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: “diceritakan kepaku bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Salat seseorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri)”. Abdullah ibn ’Amr kemudian bertemu Rasulullah untuk menanyakan hal tersebut. Ia menemukan Rasulullah sedang salat dalam keadaan duduk dan ia berkata kepada Rasulullah: Diceritakan kepadaku bahwa engkau pernah bersabda ”salat seseorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri), sedangkan engkau sendiri salat dengan keadaan duduk.” Rasulullah kemudian menjawab: ”Benar! Akan tetapi aku tidak seperti kalian”.
Tindakan yang dilakuakan Abdullah ibn ‘Amr adalah contoh cross reference yaitu mengklarifikasi antara berita yang diterima kepada sumber asli, Rasulullah Saw sebagai sumber berita. Hal tersebut untuk mengkomfirmasi adanya kontradiksi antara informasi tentang sabda Nabi dari sumber lain dengan perbuatan beliau sendiri.
Sikap kritis ini juga kita akan temukan pada sahabat-sahabat lain, yang berusaha untuk memahami ataupun mengecek hadis Nabi Saw. Inilah upaya untuk penyempurnaan pemahaman Kritik matn pada masa Nabi lebih mudah dilakukan dibanding kritik matn setelah masa sahabat. Pada masa Nabi Saw, sahabat yang menemukan “kejanggalan” atau kesulitan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi Saw secara langsung hal itu dilakukan karena Nabi Saw sebagai subjek paling mengetahui maksud tindakan atau perkataan beliau sendiri.
Kritik hadis pasca sahabat dilakukan para ulama dengan cara seperti yang dilakukan oleh para sahabat, hanya saja para ulama harus membutuhkan ekstra keras untuk membandingkan data (dalil) yang lain untuk memahami hadis Nabi Saw.
Pada perkembangan selanjutnya, untuk mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi hadis (matn) paling tidak menggunakan kriteria kesahihan hadis sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matn hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.    Tidak bertentangan dengan akal sehat
b.    Tidak bertentangan dengan kandungan al-Qur’an yang telah muhkam
c.    Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
d.    Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu
e.    Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, dan;
f.    Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas kesahihannya kuat.
Tolok ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih, atau minimal harus dicek dahulu kualitas kebenarannya.
Ibn Jawzi (w.597 H) memberikan tolok ukur kesahihan matan hadis secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut tergolong hadits maudlu’ (palsu).
Salah al-Din al-Adlabi mengambil jalan tengah antara keduanya, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan hadis itu meliputi empat hal, yaitu:
a.    Tidak bertentangan dengan petujunjuk Al-Qur’an;
b.    Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat;
c.    Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah, dan;
d.    Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dari paparan tentang kritik sanad dan matan hadis di atas, dapatlah dipahami bahwa kegiatan kritik hadis ini sungguh sangat penting demi mendapatkan dasar pijakan yang tepat dan benar dalam keberagamaan dan proses penetapan hukum Islam. Agar para pembaca dapat membedakan lebih jelas tentang bagaimana kritik sanad dan kritik matan hadis itu dilakukan, berikut penulis simpulkan beberapa hal yang penting dalam bentuk tabel perbandingan berikut ini:
Tabel Perbedaan
Kritik Sanad dan Matan Hadis

Aspek Perbedaan    Sanad    Matan      




Secara Umum    v    Analisa kajian difokuskan pada keabsahan (kualitas) perawi; dhabit, siqah, dan lainnya
v    Lebih kepada asal sumber informasi (Orang).    v    Difokuskan lebih kepada isi/teks hadis
v    Pemahaman hadis dengan perbandingan: cross question, cross reference.
v    Kajian bisa dengan berbagai cara. Bahasa, asbab al-wurud hadis, atau crosscheck dengan dalil /data lainya.      




Pada
Masa Nabi Saw
&
Masa Sahabat    v    Kesaksian langsung bisa dicek dari para sahabat (perawi)
v    Bisa langsung cross check kepada Nabi
v    Tidak ada pencelaan terhadap perawi
v    Bersifat konfirmalistik untuk memperkuat informasi yang diterima dan dari siapa
v    Proses konsolidasi untuk mendapatkan kenyakinan dalam mengamalkan informasi yang diterima dari Nabi Saw.
v    Belum ada kritria keabsahan perawi secara sistematis.
v    Metode sederhana dan tidak atau belum sistematis    v    Pemahaman langsung bisa ditanyakan/ didiskusikan kepada Nabi Saw
v    Cenderung ada keseragaman pemahaman karena bisa di crosscheck kepada Nabi Saw
v    Ada keragaman pemahaman tetapi tidak banyak karena pemahaman yang didampingi Nabi Saw dan para Sahabat      







Setelah
Masa Sahabat    v    Melihat keabsahan perawi dari riwarat hidup perawi, sehingga memberikan penilaian baku atas perawi (analisis biografi)
v    Tipis dimungkingkan adanya perbedaan. Karena sudah ada kriteria keabsahan perawi yang dirumuskan oleh para ulama hadis.    v    Content analysis (analisa teks)
v    Kajian diarahkan pada aspek bahasa dan sejarah
v    Selalu ada perbedaan pemahaman dan tidak bisa satu karena sumber /referensi yang berbeda.
v    Ada kebebasan untuk memahami hadis dari berbagai aspek kehidupan karena permasalahan kehidupan sudah semakin komplek
v    Berpotensi adanya multi intepretatif dari masa ke masa      








Kitab – Kitab terkait    v    Al Tarikh al Kabir karya Al Bukhari (w. 256 H)
v    Al Jarh wa al Ta’dil karya Ibn abi Haitam al Razi (w. 328 H)
v    Siyar A’lam al Nubala’ karya Utsman Al Dzahabi (w. 748 H)
v    Al Kamal fi Asma al Rijal karya Abdul Al Ghani Al Maqdisi (w. 600 H)
v    Al Kasyif karya Al Dzahabi (748 H)
v    Kitab Al Tsiqah karya Ibn Shalih al ‘Ijli (261 H)
v    Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah karya Ibn Hajar Al Asqalani (w. 852 H), dll    v    Ikhtilaf al Hadits karya Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w. 204H)
v    Ta’wil Mukhtalif al Hadits karya Ibn Qutaibah Al Dinuri (w. 276 H)
v    Manhaj Naqd al Matn ‘inda ‘Ulama Al Hadits al Nabawi karya Salahuddin Ibn Ahmad Al Dzahabi
v    Juhud Al Muhaditsin fi Naqd Matn Al Hadits Al Nabawi Al Syarif karya Muhammad Thair Al Jawabi
v    Manhaj al Naqd ‘inda al muhaditsin karya Muhammad Musthofa Al Azami
v    Assunah An Nabawiyah bayn ahl al fiqh wa Ahl al Hadits karya Muhammad Al Ghazali, dll      




Hikmah    v    Menambah kenyakinan kita terhadap keontetikan hadis Nabi
v    Menjaga keautentikan hadis
v    Metode sanad adalah satu-satu metode yang tidak ada di agama lain.
v    Menunjukan kehati-hatian kita terhadap sumber kebenaran
v    Sebagai pelajaran kita bahwa sumber informasi (data) itu harus jelas dan tidak boleh dimanipulasi
v    Mengasah nalar kritis kita    v    Menambah pemahaman kita terhadap hadis
v    Meminimalisir kesalah pahaman kita terhadap hadis Nabi
v    Membuka pintu ijtihad dan kreatifitas penafsiran dari masa kemasa.
v    Mengurangi sikap fanatisme golongan (sekte)
v    Mengasah nalar kritis kita   

Pendekatan Alternatif: Isnad cum matn analysis
Benarkah ribuan hadis yang disandarkan kepada Abu Hurayra, Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadis itu tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadis. Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin sahabat yang dikutip memang tidak bertanggung jawab terhadap hadis yang disandarkan kepadanya. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan urgensinya.
Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut. 
Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadis tersebut keseluruh kitab hadis yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Syi’ah, misalnya Musnad al-Allama al-Mujlisi, al-Shamiyyin dan lainnya. Apakah hadis yang kita cari itu terdapat dalam buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi ke generasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Di samping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dan seterusnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat terbatas untuk mengurainya secara detail.
Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memungkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Dengan memiliki sumber berita yang tersedia, kondisi manusia di abad 21 secara fisik lebih bagus daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan metodologi isnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih otoritatif untuk menentukan kualitas hadis daripada al-Bukhari dan para mukharrij lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadis dari empat sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadis belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadis tersebut hanya dari empat orang di atas. Pada saat ini, kitab-kitab hadis yang tersedia memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber al-Bukhari. Kita pun dapat membandingkan antara riwayat al-Bukhari dengan riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat. Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat ke-dlabit-an setiap perawi dari generasi ke generasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain. Sekali lagi dengan isnad cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan demikian kita pun dapat melihat tingkat ke-dlabit-an perawi dari teksnya.
Secara teoritis, metode isnad cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis, metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Hal ini terefleksi dari literatur hadis kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori dan praktek.

by.  Mansur S. Ag., M.Ag,
      Dosen di Fakultas syariah dan Hukum
      Universitas Islam Negeri Sunana Kalijaga
      Yogyakarta
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar