Tugas Resume “Kemimpinan dalam Sholat”



Nama  : A. Riris Muldani
NIM    : 12340139
Hal      : Tugas Resume “Kemimpinan dalam Sholat”

Pernyataan hadîts Al-Dâruquthnî  sebagaimana yang dijadikan dasar hukum Wahbah tadi, jelas berbeda dengan hadîts Abû Dâwud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Umm Waraqah. Jika al-Dâruquthnî secara jelas menyebutkan bahwa adalah kaum perempuan yang menjadi makmum dari Umm Waraqah, maka Abû Dâwud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Umm Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan apakah mereka perempuan semua atau laki-laki semua atau juga laki-laki dan perempuan.

Berbeda dengan Wahbah, Al Shan’ânî, penulis kitab Subul al-salâm menyimpulkan dari hadîts Umm Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Umm Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Karena secara eksplisit (menurut lahiriahnya) hadîts ini memperlihatkan bahwa Umm Waraqah menjadi Imâm shâlat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan perempuan hamba sahaya.
Hadits diatas masih mengalami ketidak jelasan. Dan dalam 4 madzab yang kita ketahui dari madzab imam syafi’I, imam hambali, imam hanafi dqan imam maliki. Bahwa tidak mensetujui kalau imam jamaah sholat itu seorang wanita, terkait hadits diatas empat madzab ini menganggap hadits tersebut berkhualitas dhoif. Kalaupun ada imam jamaah sholat perempuan itu yang boleh jadi makmumnya atau para jamaahnya juga perempuan. Kalau kita berbincangkan kesetaraan gender, itu memeng boleh tapi kita juga harus kembali melihat hak dan kewajiban masing-masing anatara laki-laki dan perempuan itu bagaimana dan sebatas apa.
Disini kita juga digemparkan oleh kaum muslimah yang menjadi imam pada saat sholat jum’at, hali ini menjadi sorotan yang sangat menarik bagi orang-orang pemikir islam, dengan landasan hadits-hadits yang ada mereka mencari sumber, tapi mejadi perdebatan,
Tampak jelas, pandangan Wahbah dalam hal ini memutlakkan ketidakabasahan kepemimpinan perempuan dalam shâlat tanpa  membedakan antara makmum yang sudah tua maupun yang masih muda atau bahkan anak-anak, yang merdeka atau budak.
Pernyataan hadîts Al-Dâruquthnî  sebagaimana yang dijadikan dasar hukum Wahbah tadi, jelas berbeda dengan hadîts Abû Dâwud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Umm Waraqah. Jika al-Dâruquthnî secara jelas menyebutkan bahwa adalah kaum perempuan yang menjadi makmum dari Umm Waraqah, maka Abû Dâwud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Umm Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan apakah mereka perempuan semua atau laki-laki semua atau juga laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan Wahbah, Al Shan’ânî, penulis kitab Subul al-salâm menyimpulkan dari hadîts Umm Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Umm Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Karena secara eksplisit (menurut lahiriahnya) hadîts ini memperlihatkan bahwa Umm Waraqah menjadi Imâm shâlat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan perempuan hamba sahaya.
Pernyataan Al-Shan’ânî ini memberikan kesan kepada kita bahwa keabsahan perempuan menjadi Imâm shâlat bagi laki-laki dibatasi pada laki-laki yang sudah tua atau laki-laki muda tetapi berstatus hamba sahaya. Jadi tidak untuk laki-laki muda yang merdeka. Pada sisi yang lain argumen-argumen di atas  sebenarnya juga memperlihatkan adanya bias laki-laki dan bias gender. Fitnah yang berarti gangguan atau godaan itu seakan-akan hanya terjadi dari pihak perempuan terhadap laki-laki. Atau setidaknya dapat dikatakan bahwa pada diri seorang perempuan seakan-akan diduga kuat ada unsur-unsur inheren yang membuat laki-laki tergoda (mazhinnah al-fitnah). Maka untuk menghindari terjadinya godaan laki-laki, menurut kacamata ini, perempuan sebaiknya tidak atau bahkan dilarang melakukan aktifitas bersama-sama laki-laki, apalagi dalam persoalan ibadah shâlat di mana di dalamnya diperlukan konsentrasi penuh (kekhusyu-an). Ini adalah kesimpulan umum yang mungkin dapat ditangkap dari pernyataan para ulama di atas. Ini juga boleh jadi merupakan kesimpulan yang tidak memuaskan sebagian orang. Kesimpulan yang mungkin dapat memuaskan semua pihak adalah dengan melihat pada ada tidaknya faktor ‘fitnah’ tadi, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Sebab ketertarikan atau ketergodaan satu atas yang lain bisa dimiliki oleh masing-masing pihak. Proses kebudayaan dan tradisi memang dapat membentuk ideologi tertentu, ideologi laki-laki atau ideologi perempuan.
Hadits diatas masih mengalami ketidak jelasan. Dan dalam 4 madzab yang kita ketahui dari madzab Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Maliki. Bahwa tidak mensetujui kalau imam jamaah sholat itu seorang wanita, terkait hadits diatas empat madzab ini menganggap hadits tersebut berkhualitas dhoif. Kalaupun ada imam jamaah sholat perempuan itu yang boleh jadi makmumnya atau para jamaahnya juga perempuan. Kalau kita berbincangkan kesetaraan gender, itu memeng boleh tapi kita juga harus kembali melihat hak dan kewajiban masing-masing anatara laki-laki dan perempuan itu bagaimana dan sebatas apa.
Disini kita juga digemparkan oleh kaum muslimah yang menjadi imam pada saat sholat jum’at,  Amina Wadud misalnya,  melakukan hal itu lantaran dia ingin mengetuk hati kaum muslim sejagat, yakni tidak ada pemisah di antara mereka. Seperti halnya yang dikemukakan imam perempuan dari kanada yang diundang untuk mengimami sholat jum’at dan memberikan khutbah di inggris, yaitu Raheel Reza, dia juga menganggap anatara laki-laki dan perempuan itu sama.
. hal ini menjadi sorotan yang sangat menarik bagi orang-orang pemikir islam dengan landasan hadits-hadits yang ada mereka mencari sumber. Tetapi masih menjadi perdebatan karena para pemikir islam terdahulu, belum diketahui dasar hukum yang diambil.
Kalau menurut saya, boleh  kita berbincangkan kesetaraan gender, itu memeng boleh tapi kita juga harus kembali melihat hak dan kewajiban masing-masing anatara laki-laki dan perempuan itu bagaimana dan sebatas apa. Kalau masalah imam jamaah sholat itu kan sudah ada ketentuanya.

Bahan Penguatan :
·         Yang boleh menjadi imam
1.      Laki-laki makmum kepada Laki-laki
2.      Perempuan makmum kepada laki-laki
3.      Perempuan makmum kepada perempuan
4.      Banci makmum kepada laki-laki
5.      Perempuan makmum kepada banci.
·         Yang tidak boleh menjadi Imam
1.         Laki-laki makmum kepada banci
2.         Laki-laki makmum kepada perempuan
3.         Banci makmum jkepada perempuan
4.         Banci makmum kepada banci
5.         Orang yang fashih  dalam membaca Al-Qur’an makmum kepada orang yang tidak       tahu membaca Al-Qur’an.
Dari ketentuan tersebut kita sudah tahu bahwa Imam perempuan tidak boleh jika makmumnya laki-laki..


Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar