Perubahan UUD 1945 kembali menjadi
berita. Langkah agresif Dewan Perwakilan Daerah untuk mendorong perubahan
lanjutan UUD 1945 mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari beberapa kalangan.
Yang pro merasa bahwa perubahan kelima diperukan untuk menyempurnakan reformasi
konstitusi. Perubahan pertama hingga keempat yang dilakukan MPR pada awal
reformasi ( 1999 – 2002 ) dirasa belum memadai, salah satunya dalam mewujudkan
bicameral yang efektif. Bagi yang kontra, terbagi pada dua kelompok. Kelompok
pertama, sama sekali tidak mendorong perubahan Kelima, kelompok romantis ini
justru ingin mengembalikan naskah asli
UUD 1945 sebelum perubahan. Kelompok edua yang menolak perubahan kelima,
meskipun tidak menafikan sunatullah perubahan konstitusi, namun merasa saat ini
bukanlah masa yan tepat.
Tarik – menarik antara kubu pro dan
kontra perubahan kelima tersebut menarik untuk terus dicermati. Inilah salah
satu buah reformasi, ketika perbedaan pendapat tentang agenda konstitusi dapat
diperdebatkan dengan terbuka tanpa ada halangan yang berarti. Hal yang sama
tidak mungkin terjadi di masa rezim otoriter orde baru. Alih – alih
meperbincangkan perubahan UUD 1945, Orba justru memelopori gerakan
memberhalakan konstitusi kemerdekaan tersebut. UUD 1945 disakralkan dan
dinisbatkan sebagai konstitusi yang tidak akan diubah.
Beruntung di masa transisi dari
pemerintahan otoriter, ketika Soeharto jatuh di tahun1998, golden moment
reformasi konstitusi mulai terbuka. Sakralitas UUD 1945 akhirnya dapat ditembus
dan hadirlah perubahan pertama hingga keempat. Namun, hasil empat perubahan itu
seharusnya bukan dilihat sebagai akhir dinamisasi konstitusi. Kemungkinan
perubahan lanjutan sebaiknya terus dibuka.masih banyak substansi konstitusi
yang semestinya diadopsi sebagai bagian lanjutan perubahan UUD 1945. Penguatan
posisi dan kewenangan DPD adalah salah satunya. Yang lain adalah pembukaan
kesempatan calon perseorangan / independen dalam pemilihan presiden;
memperjelas posisi pemilihan kepala daerah sebagai rezim pemilu, bukan rezim
pemerintahan daerah : serta perlindungan HAM yang lebih tegas dengan memberikan
kewenangan pemeriksaan constitutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi.
Namun melakukan satu perubahan untuk kesemua isu diatas adalah
langkah yang nyaris mustahil. Sebaiknya memang dilakukan perubahan secara
bertahap. Perubahan sekaligus akan melibatkan berbagai kepentingan yang berbeda
dan berpotensi menimbulkan pergesekan yang tidak perlu antar kelompok, yang
seharusnya justru berkoalisi guna melakukan perubahan konstitusi.
Saat ini DPD tengah gencar –
gencarnya mendekati fraksi – fraksi di MPR untuk menawarkan penguatan fungsi
dan peran DPD. Upaya tersebut sedikit banyak telah mendapatkan hasil dengan
tamahan dukungan dari beberapa orang di fraksi PKB dan PKS. Dukungan dari lebih
banyak anggota MPR dibutuhkan karena syarat procedural perubahan formal UUD
1945, menurut pasal 37 ayat ( 1 ) UUD 1945, adalah diusulkan sedkikitnya 1/3
anggota MPR. Di samping itu, usulan perubahan sudah harus diajukan secara
tertulis dengan minimal 2/3 kuorumkehadiran dan sekurangnya ½ kuorum
persetujuan anggota MPR.
Perjalanan DPD untuk mendapatkan
dukungan 1/3 anggota MPR masih jauh. Fraksi – fraksi konservativ terhaap agenda
perubaha UUD 1945 masigh bergeming. PDI perjuangan dan partai Golkar adalah dua
gajah kekuatan politik yag masih antipasti dengan agend perubahan kelima.
Alasan ideologis menjadi alas an enggannya PDI Perjuangan untuk menyokong
agenda penguatan DPD. Bagi kelompok nasionalis, peruahan UUD 1945 selalu
membuka kemungkinan polemik lama, semacam potensi lahirnya Negara Islam, dan
pengadopsian syariat Islam ke dalam konstitusi.
Di kala perubahan pertama dan
keempat UUD 1945 pun, PDI perjuangan bersama – sama dengan fraksi TNI/Polri
adalah kekuatan politik yang sangat berhati – hati. PDI perjuangan termasuk
partai yang terakhir mendukung agenda reformasi konstitusi. Itupun karena
situasi kondisi politik pasa jatuhnya Orde Baru memang tidak membuka pilihan
lain. Tuntutan amandemen UUD 1945 merupakan arus kuat yang terlalu sulit untuk
dilawan.
Semua perlawanan dan resistensi atas perubahan UUD 1945 biasanya
terkait dengan kekhawatiran terbukanya kotak Pandora; yaitu munculnya lagi
perseteruan antara ideology nasionalis pancasila dengan ideology agamis Islam; ketakutan
munculnya lagi semangat memperjuangkan Negara islam, atau minimal semangat
memperjuankan penerapan syariat Islam, dengan mengadopsi Piagam Jakarta ke
dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang agama.
Apapun, hambatan dan resistensi klasik tersebut seharusnya tidak
mengurangi semangat untuk menegaskan perlunya penyempurnaan UUD 1945, pasca
empat amandemen sekalipun. Dalam konteks ini penguatan dan revitalisasi aturan
konstitusi bagi DPD amat penting untuk didukung, khusunya untuk meciptakan
sisem bikameral yang efektif. Kala ini model parlemen Indonesia jauh dari
kejelasan. Disebut bikameral tidak tepat, karena keanggotaan MPR bukan terdiri
atas DPR dan DPD sebagai intuisi, namun hanya anggota – anggota DPD dan DPR.
Bahkan Jimly Asshiddiqie menegaskan parlemen Indonesia mempunyai tiga kamar (
trikameal ) : MPR, DPR dan DPD; dengan DPR mempuyai power yang jauh lebih besar
dibandingkan dua kamar yang lain ( DPR heavy ).
Supremasi DPR demikian tidak sehat.
Semestinya untuk menghidupkan saling control dan saling imbang di internal
parleme, maka selain dinamika partai di DPR harus terus dipelihara, maka kamar
DPR sewajibnya bias saling kontroldengan DPD. Prinsip checks and balances antar
kamar parlemen itulah ang menguatkan urgensi bicameral. Jika salah satu kamar terlalu
dominan, maka kehadirab kamar lain yang hanya menjadi anak bawang – sebagaimana
otoritas DPD yang jauh d bawah DPR menjadi kehilangan urgensi eksistensi.
Namun, DPD sendiri harus menyadari bahwa ,asaeas perubahan
amandemen secara formal sudah mulai kehilangan momentum. Maka, meskipun lobi –
lobi politik memang tetap harus dilakukan namun alternatf perubahan konstitusi
lain juga patut dijajaki. Selain formal amandemen, maka constitutional
interpretation dan convention adalah dua metode lain untuk mendominasikan
kehidupan konstitusi. Interpretasi konstitusi di era sekarang telah secara
relative baik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; sedangkan konvensi kenegaraan
dapat terus dimodifikaso untuk penguatan tawar – menawar DPD, misalnya dengan
ide cerdas meminta pidato presiden dihadapan DPD, tidak hanya dihadapan DPR
sebagaimana konvensi yang selama ini dilakukan.
Di samping upaya – upaya elite emandemen konstitusi tersebut, DPD
harus tetap menjejak di anah dan terus membangun dukungan populis di hadapan rakyat
pemegang daulat. Bagaimana konstitusi adalah aturan bernegarayang wajib
dipahami dan dimiliki secara sadar oleh sebanyak mungkin masyarakat. Itulah
konstitusi rakyat. Dengan semikian, jikalau DPD gagal mendorong amandemen
formal UUD 1945, DPD tetap mendapat dukungan politik dari public, karena
perjuangannya terlihat demi rakyat, bukan semata demi penguatan kekuasaan
semata.
by. Uni Malihah
by. Uni Malihah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar