KEGALAUAN
PERADILAN PELANGGARAN HAM BERAT DI
INDONESIA
Makalah
ini diajukan guna memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Hukum dan HAM
Disusun
oleh :
A.RIRIS
MULDANI
Nim :
12340139
Dosen
Pengampu
ACH.
TAHIR, SHI., LL.M., M.A.
ILMU
HUKUM
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Melalui studi
kasus-kasus pelanggaran HAM berat dapat dianalisis bahwa pernyataan dalam
perumusan masalah terjawab, yakni 1) Pelaksanaan yuridiksi pengadilan pidana
indonesia terhadap pelanggaran HAM berat belum sesuai dengan statuta Roma
tahun1998, baik dari substansi hukum maupun acara pidana; 2) seharusnya
yuridiksi pengadilan pidana memenui standar hukum internasional, dengan mengacu dan menyesuaikan diri dengan ICC
Statuta Roma 1998, mengingat draf konsep ICC Statuta Roma disusun oleh para
pakar hukum pidana internasional dan praktisi yang berpengalaman dalam
peradilan pidana terhadap pelanggaran HAM berat.
Peradilan pidana HAM
Indonesia di masa yang akan datang harus menyesuaikan diri dengan ICC Statuta
Roma 1998. Apabila ini berhasil akan memberi manfaat dalam penegakan peradilan
pidana pada umumnya, khususnya pengadilan HAM di indonesia. Sebagai bukti
pernyataan di atas, di bawah ini papartan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
indonesia.
Di dalam praktik proses
penegakan dan perlidungan HAM memperhatinkan terutama karena beberapa
pelanggaran HAM berat yang terjadi sampai saat ini belum terselesaikan dengan
baik, misalnya penyelesaian kasus tanjung priok, daerah Operasi Militer (DOM),
Aceh, Irian, dan kasus pelanggaran HAM ber at di Timor-timur sesudah jajak
pendapat. Hingga saat ini, masih terdapat banyak kritik terhadap putusan
pengadilan Ad Hoc HAM yang telah teselesaikan.
Terkait pembumihangusan
di Timtim mendorong dunia internasioanal ( international Tribunal ) bagi para
pelakunya. Pembentukan ini juga didasarkan atas ketidak percayaan dunia
internasional pada sistem peradilan indonesia, karena terkaitanya pelaku
kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM ditimor timur mempunyai
nuansa khusus, karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, dalam arti pelaku
berbuat dalam konteks pemeriantahan dan difasilitasi olehkekuasaaan pemerintah
sehingga akan sulit diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan
tidak memihak. Untuk itu salah satu jalan keluarnya harus melalui pembaruaan
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Ad Hoc HAM.
Tuntutan masyarakat
pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya, pada pertengahan tahun 1997 yang
begitu gencar dan terus-menerus, mengakibatkan jatuhnya soeharto sebagai
Presiden RI pada tanggal 19 Mei 1998 yang digantikan B.J. Habibie.
Era kepemimpinan
presiden B.J Habibie hanya berumur 13 bulan setelah pertnggungjawabannya
ditolak oleh MPR. Ia digantikan oleh Abdurohman Wahid yang kemudian di-impeach
oleh MPR karena sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Megawati soekarno
putri yang waktu itu sebagai wakil presiden diangkat sebagai presiden RI,
menggantikan Abdurrohman Wahid.
Gambaran tersebut
diatas, disebut sebagai bentuk reformasi. Selama kurun waktu empat tahun berjalannya reformasi,
Nurcholis Madjid menilai reformasi telah gagal, karena dianggap masih berjalan
seperti orde baru. Namun Demikian, terdapat perubahan yang fundamental sejak
1998, menurut penelitian Asian Development Bank (ADB), perubahan yang paling
fundamental, bukanlah perubahan dalam bidang politik atau pemerintahan, tetapi
perubahan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Perubahan tersebut,
mengakibatkan masa transisi politik yang menimbulkan berbagai tuntutan dari
berbagai pihak, antara lain untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
2. POKOK MASALAH
·
Apa
ada Pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan, sampai saat ini ?
·
Bagaimana
Upaya mengatasi pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi selama ini ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Yuridiksi Pengadilan Pidana
Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat
1. Yuridiksi Pengadilan Pidana HAM Berat
Berbagai Aspek yang
terkait, sebelum berhubungan dengan pengadilan pelanggaran HAM berat, di
antaranya kedaulatan suatu negara, pengaturan atau ketentuan pidana ( indonesia
) yang belum memenuhi standar internasional, adanya pelanggaran HAM yang
dinilai termasuk pelanggaran HAM berat kurang efektif ditetapkan dalam yuridiksi
pengadilan pidana di Indonesia. Sebelum menganalisis permasalahan tersebut,
terlebih dahulu dijelaskan bagaimana pengaturan hukum Hak Asasi Manusia dan
Jenis pelanggaran Ham bera yang termasuk yuridiksi pengadilan pidana Indonesia.[1]
a. Pengaturan Hak Asasi Manusia
Di dalam ketentuan
hukum nasional indonesia, pengaturan hak asasi
manusia menjadi salah satu ‘primary trigger factors’ terjadinya gerakan
reformasi di Indonesia pada penghujung tahun 1998. Reformasi sendiri pada dasarnya
merupakan usahan sistematis dari seluruh bangsa indonesia untuk
mengaktulisasikan kembali ’core values’ demokrasi yang pada masa-masa sebelumya
menglami distorasi. Eksistensi promosi dan pelanggaran HAM yang efektif
merupakan salah satu indeks demokrasi yang sangat penting.
Komitmen Indonesia
terhadap HAM dibuktikan melalui keberadaan TAP MPR-RI No. XVII/MPR/1998, UU No.
39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan puncaknya
adalah pemantapan pengaturan HAM dalam Uud 1945 melalui proses Amandemen. Hal
ini juga bersamaan dengan langkah-langkah ratifikasi terhadap berbagai
instrumen HAM Internasional. Tidak dapat diingkari bahwa keberadaan UU No. 26
Tahun 2000 tetang Pengadilan HAM sebagai perbaikan dan Perpu sebelumnya
merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili mereka yang
dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pasca pajak
pendapat. Bangsa Indonesia secara terhormat memutuskan untuk menyelesaikan
sendiri persoalan tersebut melalaui pengadili nasional, yang substansi hukumnya
secara parsial adalah disesuaikan dengan ICC.
b. Pengertian
Pelanagaran Hak Asasi Manusia
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku[2].
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara
baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku[3].
Dengan demikian
pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh
individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi
individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang
menjadi pijakanya.
2. Kasus Pelanggaran HAM yang Belum
Diproses Melalui Pengadilan
a. Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh
semasa Penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1999[4].
Sebelum terjadinya
perjanjian perdamaian Helsinki[5]
tahun 2005, tercatat sebagai Pelanggaran HAM baik yang tergolong pelanggaran
HAM berat maupun sekedar tindak pidana biasa. Menurut lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Banda Aceh, dalam Periode 2001 terjadi akal kekerasan tidak kurang dari
2.325 kasus, yang meliputi 1000 kasus pembunuhan, 683 kasus penyiksaan, 107
kasus penghilanan orang secara paksa, dan 535 kasus penangkapan dan penahanan
secara sewenang-wenang[6].
Menurut Komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan (kontras), sepanjang
tahun 2001 hingga bulan September, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh
TNI dan Polri sebanyak 535 peristiwa, GAM 62 peristiwa dan 357 peristiwa tidak
teridentifikasi (unknow). Dari permasalahan ini pemerintah telah mengambil
beberapa penyelesaian[7],
diantaranya ;
1. Di masa B.J. Habibie, debentuk Tim 12
yang diketuai aleh Usman Hasan, dan dibubarkan oleh Gus Dur tanggal 18 Februari
2000. Di masa B.J. Habibie juga dibentuk Komisi Independen Penguasa Tindak
Kekerasan di Aceh, yang beranggotakan 27 orang.
2. Pada masa Presiden Abdurrohman Wahid,
dikeluarkan Inpres No. 4 tahun 2001 tentang langkah komprehensif dalam rangka
penyelesaiaan masalah Aceh.
3. Pada masa Megawati, Inpres tersebut
disempurnakan dengan inpres No. 7 Tahun 2001 dan disempurenakan lagi dengan
Inpres No. 1 taun 2002.
Langkah-langkan yang
diambil oleh pemerintah tdak bisa menyelesaikan kasus yng tejadi pada saat itu,
sehingga ada usulan untuk membentuk Pengadilan Ad Hoc, guna untuk mengatasi
pelanggaran yang terjadi. Namun sampai saaat ini DPR belum mempersetujui.
Inilah suatu kelemahan sistem peradilan HAM Indonesia yaitu prosesnya
memerlukakak keputusan politik dan lama.
b. Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II
Peristiwa ini terjadi
pada masa orde baru yang akhirnya dapt dilengserkan. Kasus ini sampai sekarang
juga belum menemui kejelasan. Ketiga kasus tersebut menyebabakan terbunuhnya
beberapa orang mahasiswa karena bentrokan dengan aparat keamanan. Dan peristiwa
tersebut terjadi dalam konteks yang berbeda. Dalam kasus Trisakti 12 Mei 1998.
DPR didesak untuk memanggil petinggi militer yang dianggap melakukan penembakan
ke empat orang mahasiswa Trisakti.
Menurut Pertahanan atau
Panglima ABRI pada waktu itu, Jendral Wiranto, menyatakan bahwa ada 14 perwira,
bintara, dan tamtama ABRI yang diduga terlibat dalam kasus penembakan mahsiswa
trisakti[8].
Namun dugaan yang awalnya dinyatakan pembunuhan, diubah dan ditudah hanya
melakukan pelanggaran kedisiplinan bukan pembunuhan.
Kasus Semanggi I (13
November 1998)terjadi pada saat mahasiswa berunjuk rasa menentang pelaksanaan
sidang istimewa MPR bentrokan dengan aparat keamanan yang mengakibatkan 16
orang tewas dan 456 orang luka-luka.
Kasus semanggi II yang
terjadi 22-24 september 1999, sewaktu para mahasiswa berunjuk rasa menentang
RUU tentang penanggulangan keadaan bahaya,yang mengakibatkan orang tewas 10 dan
304 luka-luka peristiwa tersebut menyebabkan pemerintah membatalkan wacana RUU
tersebut atas desakan LSm,DPR kemudian membetuk panitia khusus dengan SK DPR-RI
No 29/DPR-Ri/ III/2000/15 Januari 2000, yang mulai berlaku 26 Oktober 2000
berdasarkan berbagai kegiatan dan proses pembahasan Pansus DPR tersebut
terdapat kelompok pandangan[9]:
1. Kelompok yang merekomendasikan kasus
tersebut dibawa ke Pengadilan Umum atau Militer
2. Kelompok yang merekomendasikan kasus
tersebut kepada presiden untukmelanjutkan keputusan presiden agar dibawa ke
Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dari kedua rekomendasi
diatas menunjukan bahwa penegakan HAM diIndonesia belum merupakan suatu tututan
dan komitmen bersama bagi pemerintah. Hal ini dibuktikan masih adanya campur
tangan kepentingan polotik yang dominan, sehingga proses penegakan HAM berat
belum sepenuhnya dapat ditegakkan selain itu juga menjadi hambatan adalah tidak
jelasnya mekanisme dan kompetensi pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat di
Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kasus Pelanggaran HAM yang Belum
Diproses Melalui Pengadilan.
1. Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh
semasa Penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1999.
2. Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II.
Upaya
penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus
pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.Beberapa upaya
yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk
menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku
sebagai berikut ;
- Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.
- Melaksanakan hak asasi Manusia yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.
- Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
- Tidak semena-mena terhadap orang lain dan saling Menghormati hak-hak orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Harifin A. Tumpa.2010.”Peluang dan
Tantangan Eksistensi pengadilan HAM di Indonesia”.jakarta : Kencana
Kaligis,”Misteri
Tragedi Trisakti”. 2005
UU RI No. 39 Tahun 1999
UU No. 26"tentang Pengadilan HAM" 2000.
S. Awwas
Irfan.2005."Apa Dosa Rakyat Indonesia".Yogyakarta : Wihdah
Press.
http/www.kompas.com,31/12/2001.
.2001."Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan".Bandung;Citra
Aditya Bakti.
Bahar, Saafroedin.2002"Konteks Kenegaraan
HAM".Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[1] Dr. Harifin A. Tumpa,”Peluang dan Tantangan Eksistensi
pengadilan HAM di Indonesia”,(jakarta,kencana,2010) hlm.127
[2] Pasal 1 Angka
6 No. 39 Tahun 1999
[3] UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM
[4] Dr. Harifin A. Tumpa,”Peluang dan Tantangan Eksistensi
pengadilan HAM di Indonesia”,(jakarta,kencana,2010) hlm.147
[5] S. Awwas Irfan,"Apa Dosa Rakyat
Indonesia",(Yogyakarta,Wihdah Press,2005), hlm. 283
[6] http/www.kompas.com,31/12/2001.
[7] ,,"Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan",(Bandung,Citra
Aditya Bakti,2001)
[8] Kaligis,”misteri Tragedi Trisakti”. 2005
[9]
Bahar, Saafroedin."Konteks Kenegaraan
HAM",(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar