RAGAM MADZHAB
Madzhab fiqh secara
internal, adalah otonom. Namun secara eksternal, merupakan bagian dari entitas
kehidupan muslim, yang saling tergantung dengan unsure lain dari entitas itu,
sehingga menampakkan suatu kesatuan entitas kehidupan manusia. Atas perihal
tersebut, manakala dilakukan pendekatan historis terdapt hubungan yang
segnifikan antara kalam dengan fiqh; atau antara madzhab kalam dengan madzhab
fiqh. Kalam bermulai dari pertikaian politik antar keluarga, sebagai akibat
pembunuhan Ustman bin Affan yang
tidak kunjung selesai, dan berpuncak pada peristiwa tarkhim (arbitrase) di antara dua “partai”. Doktrin kalam kemudian
menjadi wacana alam, dan selanjutnya menjadi madzhab kalam : Ahlussunnah (sunni), Syi’ah (syi’i),dan Khowarijj. Demikian pula, secar garis besar, madzhab
fiqh dapat dikelompokkan menjadi 3 madzhab utama : sunni, syi’I dan khowarijj. Dan tiga madzhab itu berkembang madzhab
yang lebih kecil, misalnya, dalam madzhab sunni hingga kini, berkembang empat
madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Relasi antara madzhab kalam
dengan madzhab fiqh, tercermin dalam sejumlah proposisi yang dikemukakan oleh
Abu Hanifah dalam Fiqh al-Akbar. Apabila
demikian, apakah perkembangan madzhab fiqh berhubungan dengan pertikaian, atau
dukungan politik?[1]
Dalam masyarakat Islam
dewasa ini, madzhab fiqh lebih dikenal ditimbang madzhab yang lainnya, termasuk
kalam. Boleh jadi hal itu bersifat praktis, oleh karena kepraktisannya
digunakan dalam kehidpan sehari-hari, yang “harus” merujuk kepada madzhab.
Sering kali menjadi ungkapan yang popular bila ditemukan masalah fiqh yang
kontroversional. Oleh karena itu, bila ada ungkapan yang menyatakan
“perbandingan Madzhab”, dapat diperkirakan bahwa ungkapan itu dipahami sebagai
“perbandingan madzhab fiqh”. Berkenaan dengan hal itu muncul pertanyaan, apa
yang dimaksud dengan madzhab fiqh itu? Jawaban atas pertanyaan itu telah di
ungkapkan oleh beberapa orang pakar, mulai yang sderhana sampai dengan yang
rumit. A. Djazuli (1991:106) misalnya, menyebut madzhab dengan aliran-aliran
dalam fiqh. Madzhab, menurut A. Djazuli, bermula dari perbedaan dalam
penggunaan metode ijtihad, yang menimbulkan perbedaan pendapat. Kemudian
terbentuk kelompok pendukung, yang terdiri atas para murid imam mujtahid,
selanjutnya berkembang menjadi madzhab sebagaimana dikenal dewasa ini.
Sementara itu, Huzaemah
(1997:72) menyatakan bahwa pengertian asalnya, “madzhab adalah pokok pikiran
atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
meng-istinbath-kan hokum Islam”.
Selanjutnya, madzhab berkembang menjadi kelompok ummat Islam yang mengikuti
cara Istinbath Imam Mujtahid
tertentu; atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hokum Islam.
Sedangkan Amir Syarifuddin (1997:31) menggambarkan fiqh pada masa Imam
mujtahid, yang kemudian terbentuk berbagai madzhab, ditandai oleh beberapa
kegiatan. Pertama, menetapkan metode berfikir untuk memahami sumber hokum. Kedua,
menetapkan istilah hokum yang digunakan dalam fiqh. Ketiga, menyusun kitab fiqh
secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan subbagian yang
mencakup semua masalah hukum.
Dari pandangan ketiga guru
besarfiqh itu, terdapat beberapa konsep kunci yang sama : 1.) Imam Mujtahid,
2.) Metode Ijtihad (Istinbath) hukum, 3.)
Fiqh (hokum Islam), 4.) Madzhab sebagai aliran fiqh, kemudian menjadi
komunitas, dan 5.) Kelompok pendukung atau pengikut. Di samping itu, 6.)
Istilah hokum yang digunakan, dan 7.) Penyusunan kitab fiqh. Berdasarkan konsep
kunci tersebut, menunjukkan bahwa anatomi madzhab fiqh sebagai komunitas, yang
dapat diteliti lebih lanjut, terutama tentang dinamika internal masing-masing
madzhab; serta relasi antar madzhab dalam entitas masyarakat Islam.[2]
Untuk pembahasan lebih
lanjut, terutama untuk memudahkan pelaksanaan penelitian, dalam tulisan ini
yang di maksud madzhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang fiqh,
yang kemudian menjadi komunitas dalam masyarakat Islam. Madzhab, bagaikan
aliran sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan bertemu dengan
aliran yang lain; yang juga bercabang dan beranting. Oleh sebab itu, dalam
realitas masyarakat Islam terdapat berbagai madzhab., sebagaimana telah
dikemukakan, yakni : hanafi, maliki,
syafi’I dan hanbali. Selnjutnya maka kami akan menguraikan dengan jelas
salah satu dari 4 madzhab tersebut yakni madzhab maliki.
B.BIOGRAFI IMAM MALIK
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik
bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr
bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Berasal dari
keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum
datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu
Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua
Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk
ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tak
berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah
adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya. Imam Malik
menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru
pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri,
Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir,
Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq. ,
Imam Malik menyatakan:
وأنا أيضا يا أمير المؤمنين لأم أزل
أنتظرك منذ اليوم؛ إن العلم يؤتى ولا يأتي، وإن ابن عمك صلى الله عليه وسلم هو
الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع
“Aku juga menunggumu
seharian wahai Amir al-Mu’minin; sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang
sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu SAW. yang dia datang bersama ilmu,
jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia
menjadi rendah.”[3]
Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak
kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al
Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa
murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik
adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar
adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis
pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut
tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai
sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu
mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk
melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal
tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al
Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula
kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya
memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku Al
Mudawwanah Al Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan
Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab
ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber
hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah
Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al
Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil
tertentu.
C.SEJARAH SINGKAT IMAM MALIK
Dalam sebuah kunjungan ke
kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu),
tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam
Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik
memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah
Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia
yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''[4]
Sedianya, khalifah ingin
agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun,
permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan
kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun
akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan
rakyat kecil.
Kendati demikian, dalam
mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang
imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual
tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama
ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya.
Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin
Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al
Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin
Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar
Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam
Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir
seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah,
mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid
Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba
ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah
riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Pengendalian
diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam.
Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak
beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang
sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada
penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan,
sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah
yang mengunjunginya.
D.Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Mengenai al-Muwaththa’,
Imam Syafi’i berkata:
ما
على طهر الأرض كتاب أصح بعد كتاب الله من كتاب مالك
“Tidak ada satu kitab pun
di atas permukaan bumi ini yang lebih sahih setelah kitab Allah dari ada kitab
Malik.”[5]
Mengomentari pendapat Imam
Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:
وهو
كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه
“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan Syafi’i RA..”[6]
Al
Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri
mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya
di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini
dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih
dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut
beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak
'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al
Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam
Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal
tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M)
dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).[7]
Dunia
Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut
Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan
terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula,
kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik
hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga
menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam
Malik atas berbagai persoalan.
Imam
Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di
kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa
Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra,
Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah
fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik
Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi),
dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi
rujukan utama mazhab Maliki.
Di
samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat
mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan,
sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah
Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al
Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak
didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab
Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair,
Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara
yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan
Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini
satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
E.Pengendali kekuasaan (otoritas)
tasyri’ dan Sumber Tasyri’
Pengendali tasyrik dalam
Mazhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari sumber-sumber tasyrik yang dipegang
teguh oleh komunitas mazhab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Imam
Malik, di samping seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, di mana dalam
meriwayatkan Hadits, Imam Malik menyandarkan periwayatan kepada orang yang
menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini dapat
dilihat dari kitab al-Muwaththa’.[8]
Secara ringkas, manhaj
yang ditempuh di dalam Mazhab Maliki ia mendasarkan pendapat fiqhiyyah pada
al-Qur’an; apabila tidak diperoleh informasi pasti dari al-Qur’an, maka mereka
menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits Nabi,
Fatawa Sahabat dan keputusan hukum mereka, dan ‘amal penduduk Madinah);
kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang kepada kedua di atas,
maka mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu mencari kesamaan
illat antara hukum yang sedang dicari pemecahan [furu’] dengan hukum yang
dinashkan [ashl]); di sampng qiyas, terdapat juga al-mashlahah, sadd
al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat.[9]
Berikut penjelasannya:
1. Kitab Allah
Imam Malik menjadikan
Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi hujjah dan dalil terhadap berbagai
permasalahan hukum,[10]
dan sebagai sumber hukum primer yang digunakan tanpa pra-syarat dalam berbagai
implikasinya.[11]
Dia memahami nash secara
sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang mewajibkannya untuk ditakwil. Di
dalam memahami nash, ia menggunakan mafhum al-muwafaqah dengan fahw
al-khithab, seperti dalam firman-Nya berikut:[12]
إن
الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما بأكلون في بطونه نارا وسيصلون سعيرا
Larangan yang terdapat
dalam nash dipahami secara fahw al-khithab, yaitu seperti merusaknya,
dari pada hanya memakannya.[13]
Mereka juga memperhatikan illat hukum, seperti dalam firman-Nya
berikut:
قُلْ
لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –
karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah’.” (QS. Al-An’am/6: 145).
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di
atas ialah kotor (rijs); yang diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk
dan sudah terserang wahab penyakit. Dengan demikian, setiap makanan yang
termasuk dalam kategori rijs adalah haram juga.[14]
2.
Sunnah
Sunnah di dalam mazhab
Maliki – sebagaimana mazhab lainnya – dianggap sebagai sumber terpenting kedua
di dalam hukum Islam Mazhab ini juga mengambil dari beberapa perkataan beberapa
sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tabiin yang tidak mungkin
bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa
tabi’in dan tabi’ tabi’in. adapun setelah generasi ini tidak dianggap lagi,
karena masa-masa tersebut tadi mendekati derajat tawatur dari segi
kekuatan istidlal.[15]
Diriwayatkan dari Qadhi
‘Iyadh dan Ibnu Rusyd di dalam al-Muqaddimat al-Mumahhidat, bahwa Imam
Malik mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad, sebagaimana yang dilakukan Imam
Malik, dan ia mendahulukan al-ra’y, sebagaimana di dalam Hadits mengenai
khiyar al-majlis, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:[16]
البيعان
بالخيار ما لم يتفرقا
Hadits di atas menyatakan bahwa dua orang pelaku kontrak dapat
membatalkan kontrak selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak
oleh Imam Malik dengan perkataannya:
ليس
عندنا حد معروف
“Kita
tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah bahwa
majlis tidak memiliki masa tertentu yang dimaklumi.[17]
Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini,
terutama Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas
atau maslahah. Di sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits,
tetapi juga faqih al-ra’y.[18]
3.
Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang wajib
diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia mengamalkan
fatwa sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan amalan yang
disandarkan pada Nabi SAW. dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan sahabat itu
tidak sebagaimana anjuran Nabi SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin
diketahui melainkan melalui jalan naql.[19]
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila
terdapat pertentangan antara dua ashl, maka ia memiliki di antara
keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan paling relevan dengan prinsip umum
hukum Islam.[20]
4.
Qiyas,
Maslahah Mursalah, dan Istihsan
Prinsip pemikiran fikih
yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah mempermudah, dan tidak mempersusus, hal
ini sesuai dengan karya monumentalnya Al-Muwaththa’, yang berarti
mempermudah.[21]
Imam Malik mengartikan qiyas
sebagai:
القياس
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في وصف علة الحكم
“Qiyas ialah menghubungkan
hukum suatu perkara yang tidak dinashkan dengan hukum suatu perkara yang
dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat hukum.”[22]
الاستحسان
ترجيح حكم المصلحة الجزئية على حكم القياس
“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang
partikular atau hukum (yang dihasilkan) oleh qiyas.”[23]
Imam Malik menyebut
pengambilan al-mashalih ini sebagai al-istihsan, sebagaimana
perkataannya:
الاستحسان
تسعة أعشار العلم
“Istihsan ini sembilan per
sepuluh ilmu.”
Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya
hanya mempersempit pandangan Islam, sehingga Ibnu al-Wahb berkata:
المغرق
في القياس يكاد يفارق السنة
“Tenggelam dalam qiyas hampir
dapat meninggalkan Sunnah.”
Imam al-Syathibi menyatakan:
فإنه
استرسل فيه استرسال المدل العريق في فهم المعاني المصلحية نعم مع مراعاة مقصود
الشارع أن لا يخرج عنه ولا يناقض أصلا من أصوله حتى لقد استشنع العلماء كثيرا من
وجوه استرساله زاعمين أنه خلع الربقة وفتح باب التشريع وهيهات ما أبعده من ذلك !
رحمه الله بل هو الذي رضي لنفسه في فقهه بالاتباع بحيث يخيل لبعض أنه مقلد لمن
قبله بل هو صاحب البصيرة في دين الله
“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam
pemahaman makna yang maslahat dnegan tetap memelihara maksud Syari’, tidak lari
darinya, dan tidak (pula) menentangi ashl dari ushul-nya, sehingga banyak ulama
memandang buruk pada aspek penguraiannya (berkenaan dengan maslahat) dan
mencurigai bahwa dia (Imam Malik) hanya melepaskan kesulitan (dalam mengkaji
dalil-dalil), dan kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru). Mustahil! Begitu
terhindar beliau dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk diikuti,
di mana sebagian manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang
sebelumnya, bahkan dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”[24]
F.Karakteristik
Mazhab Maliki
Karakteristik mazhab Maliki dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek metodologi fikih (ushul
al-fiqh) dan aspek substansi fikih (al-fiqh).
1.
Aspek metodologi (ushul al-fiqh)
Abu Ameenah menyebut
sebanyak sembilan mashdar, yaitu al-Qur’an, Sunnah, amal penduduk
Madinah, Ijmak Sahabat, pemikiran individu sahabat, qiyas, adat istiadat
penduduk Madinah, istishlah, dan ‘urf.
Abu Zahrah menyebut
mashdar dari ushul mazhab Maliki sebanyak delapan, yaitu al-Kitab, Sunnah, amal
penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dan
al-dzara’i’
Melihat banyaknya
sumber-sumber yang digunakan mazhab maliki, maka tidak heran bila ulama mazhab
ini memiliki keluasan di dalam berijtihad, sehingga mereka mampu melahirkan
banyak sekali kaidah, baik dalam aspek
metodologis (Ushul al-Firh) ataupun asapek produk (Fiqh).
Dalam masalah amal
penduduk Madinah, Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah daripada menggunakan
hadits Ahad, karena itulah, amal penduduk Madinah merupakan salah satu landasan
ushulnya. Terdapat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang menekankan
pengertian ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam
sejumlah hukum cabang, di antaranya: Perkataannya: “Perkara ini merupakan
yang diketahui kebanyakan manusia dan ahli ilmu di negeri kita……”; dan juga
perkataannya” ”Perkara ini merupakan perkara yang terdapat pada kita....”; demikian juga perkataannya: ”Dan hal yang demikian masih terdapat pada ahli ilmu di
negeri kita,”.
2. Aspek
substansi fikih (al-fiqh)
Elastisitas dan toleransi
terhadap mazhab lainnya, dan syariat samawi sebelumnya, yang terlihat
dari hal berikut:
1) Dalam pengambilan syariat sebelumnya, selama belum
terdapat nasikh yang menghapusnya, sebagaiman dalam hal ji’alah dan
kifalah, yang merupakan syariat Nabi Yusuf AS., sebagaimana dalam
firman-Nya:
قاَلُوْا
نَفْقِدُ صُواَعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جاَءَ بِه حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَناَ بِه
زَعِيْمٌ
“Penyeru-penyeru itu
berkata: ‘Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya.” (QS. Yusuf/12: 72).
Demikian juga kebolehan al-ijarah dan pernikahan atas dasar
manfaat (pragmatis), sebagaimana perkataan Nabi Syu’arib kepadaMusa berikut:
قاَلَ
إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هاَتَيْنِ عَلَى أَنْ
تَأْجُرَنِي ثَماَنِيَ حِجَجٍ
“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun.” (QS. Al-Qashash/28: 27).
2) Keboleh untuk mengikuti hal
yang bertentangan di dalam masalah furu’, seperti meninggalkan salah satu
syarat dari syarat-syarat shalat, atau salah satu dari rukunnya, yaitu apabila
Imam menganggapnya sebagai sesuatu yang bukan syarat atau rukun shalat,
sebagaimana dalam mazhab Hanafiyah.
G.Ta’asub(fanatic) Madzhab
Ta’asub (fanatik) madzhab adalah sikap mengikuti madzhab tertentu secara
berlebihan, memandang madzhabnya yang paling benar dan madzhab lain salah.
Ta’asub madzhab ini pernah mewarnai kehidupan umat islam di sekitar abad
ke-13H, yang bekasnya kadang-kadang masih terasa sampai sekarang.
Imam Malik berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya aku ini hanyalah
seorang manusia, mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah olehmu
segala pendapatku. Apa yang sesuai dengan kitab Alloh dan sunnah, ambillah dia,
dan yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah dia.”[25]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar