makalah menjahui suap dan hadiah



MAKALAH
MENJAHUI SUAP DAN HADIAH
( SURAT AN-NAML AYAT 36 )
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
TAFSIR AYAT HUKUM DENGAN DOSEN PENGAMPU MANSUR, S. Ag, M. Ag


Disusun Oleh :
A.Riris Muldani ( 12340139 )

PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2012/2013


KATA PENGANTAR

Segala puji kita haturkan  kehadirat Allah SWT  yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga saya  dapat menyelesaikan tugas menafsirkan surah An-naml ayat 36, tentang hadiah ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah kita tentukan.
Makalah ini disusun atas penafsiran dan refrensi dari beberaba buku yang bersangkutan dengan tema yang telah diberikan ke saya. Makalah ini juga disertai hal-hal yang bersangkutan dan sesuai dengan makalah yang ditugaskan oleh dosen pengampu.
Selain itu saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak ndan ibu saya yang membantu penyemangat dalam pembuatan makalah ini. Juga kepada para penulis buku yang saya jadikan refrensi dalam pembuatan makalah ini dan ahli tafsir yang menafsirkan Al Qur’an. Terima kasih juga kepada dosen pengampu mata kuliah tafsir ayat hukum yang selalu membumbing saya dan tidak lupa kepada sahabat Mahasiswa dan Santri yang selalu mendukung saya. Semoga hasil makalah ini bisa membawa manfaat bagi kita semuanya.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan tentang ayat-ayat Al Qur’an, khususnya yang bersangkutan dengan hukum.
Yogyakarta, 10 Desember 2012

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Suap menyuap sudah  pasti hukumnya tidak di bolehkan dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesehatan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang.
Bagaimana juga seorang hakim yang telah mendapatkan uang tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan mebelakkan supremasi hukum ia akan mempermudah berbagai urusan orang yang tidak ia kenal dan tidak pernah hadapi apaun. Dan ini salah satu fenomena yang terjadi di bangsa kita Indonesia hukum tidak terjadi pada pejabat namun berlaku pada rakyat kecil, karena hukum mudah di perjualbelikan.
Hadiah juga bisa berbahaya, tergantung kita menafsirkan dari segi baik ataupun buruk. Kalau kita tafsirkan dari segi baik, hadiah itu akan bernilai baik dan manfaatnya banyak. Bila kita saling memberi hadiah, semisal bisa memperkuat silahturrohmi, membahagiakan orang lain dan bersedekah.
Itu semua tergantung pada niatnya, kalau kita menafsirkan itu secara negative pasti kita mengira hadiah itu berupa suap. Dengan kata lain ada maksud tertentu.
2.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana suap dan hadiah dalam masalah hukum?
  2. Bagaimana hukum seorang penyuap dalam Islam?
  3. Bagaimana penafsiran tentang hadiah yang mengacu pada surat An-naml ayat 36.?
    3.   Tujuan
1.      Mengungkap suap menurut pandangan hukum.
2.      Mengungkap hukum suap menurut pandangan islam.
3.      Mengungkap penafsiran Al Qur’an mengenai Hadiah dan suap.
BAB II
PEMBAHASAN
1.     Teks Ayat dan Terjemah
surah / surat : An-Naml Ayat : 36
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s027/a036.png
falammaa jaa-a sulaymaana qaala atumidduunani bimaalin famaa aataaniya allaahu khayrun mimmaa aataakum bal antum bihadiyyatikum tafrahuuna

"Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: 'Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta?, maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.m (QS. an-Naml: 36)

2.     Mufrodhat atau Keywords
Kata (                          )  Hadiyyah terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’ dan ya’. Makanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberikan petunjuk dan kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari makna kedua ini lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukan simpati terhadap yang diberi.
           Kata (                              )  hadiyyatikum  hadiah kamu dapat dipahami dalam arti hadiah yang kamu berikan, dapat juga dalam arti hadiah yang diberikan kepada kamu. Untuk makna yang kedua ini, seakan-akan penggalan ayat menyatakan” kamu sangat bergembira dengan suatu hadiah apabila ada yang menghadiahkannya kepada kamu”. Ini, karena harta benda sangat kamu hargai dan sukai.
       Sedang buatku harta tidaklah menjadi perhatianku. Disebutnya kata (              ) antum / kamu dan di dahulukannya kata (                     ) hadiyyatikum atas (                       ) tafrahum mengangdung makna pengkhususan mitra bicara menyangkut kebanggaan dan kesenangan dalam kaitan pemberian atau penerima hadiah.      
3.     Asababun Nuzhul ( sebab-sebab Turunnya  Ayat )
Dalam surat Sulaiman itu disebutkan, hendaklah mereka menyerahkan diri dan tunduk kepada perintahnya. Sulaiman memerintahkan agar mereka meninggalkan penyembahan terhadap matahari. Sulaiman tidak mempersoalkan akidah mereka dan tidak memuaskan mereka dengan apa pun. Sulaiman hanya memerintahkan bahwa ia berada di atas kebenaran. Bukankah ia didukung kekuatan yang berlandaskan keyakinan yang dimilikinya Sulaiman hanya memerintahkan mereka agar tunduk dan patuh kepadanya. Ratu Saba' menyampaikan surat tersebut di tengah-tengah kaumnya:
Sementara itu, reaksi para pembesar istana adalah menentang surat tersebut. Isi surat itu membangkitkan kecongkakan kaum Saba' di mana mereka merasa lebih kuat. Mereka mengetahui bahwa di sana ada orang yang mencoba menantang mereka dan mengisyaratkan peperangan kepada mereka, lalu ia meminta kepada mereka untuk memenuhi syarat-syaratnya sebelum terjadinya peperangan dan kekalahan.
Para pembesar kaumnya ingin berkata, kita siap untuk melaksanakan peperangan. Tampaknya ratu itu memiliki kebijakan yang lebih baik daripada pembesar kaumnya. Surat Sulaiman itu membuatnya berpikir lebih jernih dan lebih hati-hati. Ia berusaha sebisa mungkin menghindari peperangan. Ratu itu berpikir dalam tempo yang lama. Nama Sulaiman tidak diketahuinya dan ia pun belum pernah mendengarnya. Oleh karena itu, ratu tidak mengetahui kekuatannya. Boleh jadi Sulaiman memiliki kekuatan yang dahsyat sehingga ia mampu memerangi kekuasaannya dan mengalahkannya.
 Kemudian ratu memperhatikan apa yang ada di sekelilinginya. Ia melihat kemajuan masyarakatnya dan kekayaannya. Barangkali ia mengira bahwa Sulaiman iri terhadap kemajuan dan kekayaan ini sehingga Sulaiman ingin menyerangnya. Setelah mempertimbangkan isi surat Sulaiman dengan cermat, ratu Saba' memilih untuk tidak bersikap ceroboh. Ratu lebih suka untuk menggunakan bahasa kelembutan. Ia mengirim kepada Sulaiman suatu hadiah yang besar. Ratu mengira bahwa Sulaiman seorang yang ambisius yang boleh jadi ia telah mendengar tentang kekayaan kerajaannya.
Para utusan pergi dengan membawa hadiah dari ratu Saba'. Ratu berharap agar mereka dapat memasuki kerajaan Sulaiman dan akan mengetahui kondisi kerajaannya. Saat mereka pulang, ratu ingin mendengar secara langsung dari mereka tentang keadaan kaum Sulaiman dan pasukannya. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, maka si ratu dapat membuat sesuatu keputusan yang tepat.
Ratu menyembunyikan apa yang terlintas dalam dirinya lalu ia berbicara kepada pembesar istananya bahwa ia dapat menyingkap niat jahat raja Sulaiman melalui cara mengirim hadiah kepadanya. Ratu lebih memilih cara tersebut dan menunggu reaksi Sulaiman. Ratu berhasil memuaskan para pembesar istananya, dan untuk sementara ia menghilangkan ide berperang, karena para raja jika menyerang suatu desa, maka pemimpin desa tersebut adalah orang yang paling banyak mendapatkan kehinaan dan cercaan. Akhirnya, para pembesar kaumnya merasa puasa dengan pikirannya itu.
Kemudian sampailah hadiah ratu Balqis ke Nabi Sulaiman. Para badan intelejennya memberitahunya bahwa para utusan Balqis datang dengan membawa hadiah. Sulaiman langsung mengetahui bahwa ratu itu sengaja mengirim orang-orangnya untuk mengetahui atau mendapatkan informasi tentang kekuatannya, lalu setelah itu, ia mengambil keputusan atau sikapnya kepada Sulaiman. Sulaiman segera memanggil semua pasukannya untuk berkumpul.
Utusan Balqis segera memasuki istana Sulaiman yang dipenuhi dengan pasukan besar yang bersenjata. Tiba-tiba, utusan Balqis tampak tercengang ketika melihat kekayaan mereka dan harta mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kerajaan Sulaiman. Hadiah mereka tampak tidak berarti. Emas yang mereka bawa tampak tidak berarti saat mereka memasuki istana Sulaiman yang terbuat dari kayu-kayu pohon gahru yang mengeluarkan bau yang harum serta dihiasi dengan emas.
Para utusan Balqis berdiri bersama Sulaiman dan menyaksikan bagaimana Sulaiman mengendalikan pasukannya. Kemudian mereka mulai berpikir tentang kekuatan dan kualitas pasukan Sulaiman. Betapa kagetnya mereka ketika melihat di tengah-tengah pasukan itu terdapat singa, burung dan tentara dari kalangan manusia yang mampu terbang. Mereka pun sadar bahwa mereka di hadapan pasukan yang tiada taranya.
Selesailah demonstrasi pasukan Sulaiman. Kemudian para utusan ratu dipersilakan maju ke tempat hidangan, makan. Para utusan itu sangat terkejut ketika melihat berbagai macam, makanan dari penjuru bumi ada di depannya, dan di antara, makanan itu pun terdapat, makanan yang biasa di temukan di negeri mereka, tetapi mereka melihat bahwa, makanan itu memiliki rasa yang istimewa. Selain itu, piring-piring yang ada di depan mereka dan dijadikan tempat, makanan terbuat dari emas dan mereka dilayani oleh laki-laki yang berhias dengan emas, ratu mereka pun tidak mengenakan hiasan itu. Di meja, makan itu terdapat burung, ikan laut dan berbagai macam daging yang mereka tidak mampu lagi membedakannya.
Sulaiman tidak, makan bersama mereka tetapi beliau, makan dengan menggunakan piring yang terbuat dari kayu. Beliau memakan roti yang kering yang dicampur dengan minyak. Inilah, makanan yang dipilihnya.
Sulaiman, makan bersama mereka dalam keadaan diam. Mereka merasa bahwa kehadiran Sulaiman menciptakan suatu kewibawaan yang luar biasa. Selesailah jamuan, makan itu, lalu dengan sangat malu, mereka menyerahkan hadiah ratu Balqis kepada Sulaiman. Hadiah itu berupa emas. Bagi mereka, hadiah itu sangat bernilai tetapi di sini hadiah ini tampak kecil di hadapan kekayaan yang sangat mengagumkan. Sulaiman memperhatikan hadiah ratu itu dan berkata:
“Apakah kamu mendukung aku dengan harta?” Raja Sulaiman menyingkap—dengan kata-katanya yang singkat itu—penolakannya terhadap hadiah mereka. Ia memberitahu utusan itu bahwa ia tidak menerima hadiah tersebut. Ia tidak merasa puas dengan hadiah itu. Karena Nabi Sulaiman as, merasa bahwa hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi beliau melaksanakan suatu kewajiban. Sebab kalau tidak, maka menerima hadiah dalam rangka menjalin suatu hubungan yang baik walau dengan Negara non muslim saja dibenarkan. Bahkan Nabi Muhammad SAW. Menerima sekian banyak hadiah dari berbagai kepala Negara.
 Dari Ucapan beliau itu berarti menandakan penolakan dan Yang membuatnya puas hanya: "Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. "
4.     Munsabah Dengan Ayat lain
surah / surat : An-Nisaa Ayat : 86
http://www.alquran-indonesia.com/images/alquran/s004/a086.png
wa-idzaa huyyiitum bitahiyyatin fahayyuu bi-ahsana minhaa aw rudduuhaa inna allaaha kaana 'alaa kulli syay-in hasiibaan

Artinya:
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.  (4: 86)

Penghormatan dalam Islam ialah : dengan mengucapkan "Assalamu'alaikum". Ayat ini menyinggung soal sikap antara sesama umat Islam dan menyatakan bahwa dalam interaksi dengan orang lain maka fondasinya harus kasih sayang dan penghormatan.
Dalam istilah al-Quran disebut mahabbah dan tahiyyah baik itu berbentuk ucapan atau perbuatan. Saling mengucapkan salam  saat bertemu dengan orang lain serta memberikan hadiah dalam pertemuan keluarga dan sahabat merupakan hal yang dianjurkan oleh Islam. Ayat ini melihat salam dan hadiah sebagai perkara yang disepakati dan menghimbau kepada umat Islam untuk melakukannya setiap kali bertemu.
Islam memerintahkan umat Islam agar menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik, atau sama. Dengan ungkapan lain, berikanlah jawaban salam orang lain dengan lebih baik dan hangat serta balaslah hadiah mereka dengan hadiah yang lebih baik. Dalam sejarah disebutkan, salah seorang dari budak Imam Hasan Mujtaba as menghadiahkan sekuntum bunga kepada beliau. Menjawab kebaikan budaknya, Imam Hasan as memerdekakannya dan menjelaskan alasan dari perbuatannya itu lewat ayat ini.
Dari ayat tadi terdapat  tiga  pelajaran yang dapat diambil:‎
1.  Segala bentuk kasih sayang dari orang lain kita balas dengan bentuk yang terbaik dan  tidak sama.
2.  Menolak kebaikan orang lain adalah perbuatan yang tidak benar. Hadiah harus diterima dan haruslah dibalas dengan lebih baik.
3.  Mengabaikan salam dan penghormatan orang lain berdampak negatif yang akan dirasakan oleh manusia di dunia dan akhirat.
5.     Diskripsi Pendapat / Penjelasan Ayat
a.     Menjahui Hadiah
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah.
Macam-macam bentuk  hadiah :
a.       Hadiah halal bagi pemberi dan penerima.
b.      Hadiah halal bagi pemberi haram bagi penerima.
c.       Hadiah haram bagi keduanya.
a.       Hadiah Halal Bagi Pemberi dan penerima
Yaitu hadiah seseorang kepada yang lain demi terciptanya kasih saying dan keakraban. Ini juga dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ibnu Asakir, yang artinya “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, maka akan tercipta rasa saling menyayangi dan mencintai.”
b.      Hadiah Halal bagi pemberi dan haram bagi penerima
Kongkritnya : Jika orang merasa takut dari orang lain, lalu dia memberikan hadiah kepada orang yang ditakutinya dengan harapan mampu meredam perbuatan dzalimnya. Seperti kwatir terhadap ulah yang terkadang akhir ini menyusahkan wong cilik. Pemberi mafhum pengaruh hadiah yang diberikan pada preman.
Dalam kasus seperti ini yakni si pemberi menjadikan hadiah itu sebagai bemper, tamengnasib jiwanya. Upaya seperti ini halal bagi pemberi, namun haram bagi penerima. Sebab dia mengambil pemberian dari suatu tugas yang harus diwujudkan yakni ketentraman dan ketenangan.
c.       Hadiah haram bagi kedua belah pihak
Yaitu hadiah yang diberikan kepada seseorang dengan harapan hajatnya diluluskan. Bentuk hadiah yang pertama tidak termasuk suap, yang diharamkan, bahkan iklim tersebut perlu disosialisasikan dalam kehidupan. Sedangkan bentuk hadiah yang terakhir adalah termasuk suap.  Misalnya memberikan hadiah kepada seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Hal itu diajukan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanya padahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas untuk diberi hadiah, karena masih banyak lainnya yang lebih membutuhkan hadiah tersebut.
Oleh karena itu, Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun  untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Di samping sudah mendapat gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut akan memberinya hadiah. Sebagaimana menyatakan dalam hadis di atas bahwa jika ia tidak menjabat dan hanya diam di rumah, tidak ada seorang pun yang memberikan hadiah kepadanya.
Dengan demikian, hadiah yang diberikan kepada para pejabat atau yang berwenang, kecil ataupun besar wewenangnya apabila sebelum tidak biasa teirma dinilai sebagai sogokan terselubung.
Dengan kata lain, hadiah yang diberikan kepada seorang pejabat sebenarnya bukanlah hak. Di samping itu, niat orang-orang memberikan hadiah kepada para pejabat atau para pegawai, dipastikan tak didorong dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia dihadapan Allah swt.
Kalau mereka memang ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada hadiah yang diberikan tersebut, antara lain mengharapkan agar pejabat tersebut mengingatnya dan mempermudah berbagai urusannya.
Selain itu, seorang pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender penempatan pegawai, dan lain-lain, bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat hubungannya dengan orang tersebut.
Dan sabda Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.
Ia akan mempermudah berbagai  urusan orang yang memberinya hadiah dan tidak memperdulikan urusan orang yang tidak dia kenal dan tidak pernah memberinya hadiah apapun. Dengan demikian, akan berpengaruh terhadap kinerja. Apalagi kalau ia menempatkan bawahannya dengan didasarkan pada uang yang diterimanya, hal ini akan menyebabkan adanya orang-orang yang tidak pantas menduduki tempat tersebut karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kualitasnya.
Dengan demikian pantaslah kalau Rasulullah melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan.dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa “suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan, tidak boleh dilakukan.”
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaitannya dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya hadiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.
b.    Menjahui  Suap
            Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.
Perbuatan suap sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil.
 Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
Bagaimanapun juga, seorang hakim ataupun pejabat negara yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil buatan manusia, hendak sekali baginya untuk mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil, tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak manapun  selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim oleh mereka yang berkecukupan daripada jabatan oleh  mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang  dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum.
Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyal sudah membudaya. Segala aktivitas, baik yang berskala kecil maupun berskala besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M. Quraish Shihab, masyarakat telah melahirkan budi yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
Menurut M. Quraish Shihab, argument para ulama di atas tidaklah jelas, tetapi tampak keadaan ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tampaknya saat ini budaya sogok-menyogok telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
Akan tetapi, menurutnya, Asy’ariyah-Syaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak membolehkan pemberian dan peneriman sesuatu dari seseorang, kecuali dengan hati yang tulus. Apakah mereka yang memberi pelican itu tulus? Dan tidaklah sikap tersebut semakin menumbuhsuburkan praktek suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi walaupun dengan dalil meraih hak yang salah, seseroang telah membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu yang haram dan terkutuk. Dengan demikian, si pemberi sedikit ataupun banyak, menyurutnya, telah pula menerima sanksi keharaman dan kutukan atas suap menyuap tersebut.
6.     Analisis Tafsir
Dalam Tafsir Al Mishbah ini, yang  ada pada ayat 36 surat An-naml, menguraikan keputusan sang ratu untuk mengirim hadiah kepada Nabi Sulaiman as. Ketika sampai hadiah ratu Balqis ke Nabi Sulaiman. Para badan intelejennya memberitahunya bahwa para utusan Balqis datang dengan membawa hadiah. Sulaiman langsung mengetahui bahwa ratu itu sengaja mengirim orang-orangnya untuk mengetahui atau mendapatkan informasi tentang kekuatannya, lalu setelah itu, ia mengambil keputusan atau sikapnya kepada Sulaiman. Sulaiman segera memanggil semua pasukannya untuk berkumpul.
Lalu mereka menyerahkan hadiah ratu Balqis kepada Sulaiman. Hadiah itu berupa emas. Bagi mereka, hadiah itu sangat bernilai tetapi di sini hadiah ini tampak kecil di hadapan kekayaan yang sangat mengagumkan. Sulaiman memperhatikan hadiah ratu itu dan berkata:
 “Apakah kamu mendukung aku dengan harta?” Raja Sulaiman menyingkap—dengan kata-katanya yang singkat itu—penolakannya terhadap hadiah mereka. Ia memberitahu utusan itu bahwa ia tidak menerima hadiah tersebut. Ia tidak merasa puas dengan hadiah itu. Karena Nabi Sulaiman as, merasa bahwa hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi beliau melaksanakan suatu kewajiban. Sebab kalau tidak, maka menerima hadiah dalam rangka menjalin suatu hubungan yang baik walau dengan Negara non muslim saja dibenarkan. Bahkan Nabi Muhammad SAW. Menerima sekian banyak hadiah dari berbagai kepala Negara.
 Dari Ucapan beliau itu berarti menandakan penolakan dan Yang membuatnya puas hanya: "Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. "
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah.










BAB III
PENUTUP
1.     Kesimpulan
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik berupa uang maupun halnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman  hukum atau mendapat hukuman ringan.
Di samping itu Suap-menyuap juga sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainakn dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dsuap, banya para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggaran hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat  berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim.
Hukum dalam Islam seorang penyuap itu sangat dilarang oleh Allah swt sebagaimana firman Allah dalam surah al Baqarah yang berbunyi “Dan janganlah sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, karena Allah melaknat seorang penyuap”.
Dalam Islam, para pegawai instansi atau para pemegang kekuasaan dilarang menerima hadiah yang diberikan kepadanya berkaitan dengan jabatannya. Jika ia tidak menduduki suatu jabatan dipastikan tidak akan menerima hadiah tersebut. Dengan demikian hadiah tersebut akan menjadikannya melakukan perbuatan kolusi dan nepotisme.
2.     Saran
Dengan penuh harapan dari penulis bahwa makalah ini masih begitu jauh dari kesempurnaan sebagai satu karangan ilmiah dan saran serta masukan yang sifatnya membangun demi perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Perdalam Ilmu yang engkau dapatkan dan janganlah puas atas ilmu yang engkau raih, karena ilmu tidak akan habis, dan sampaikalah walau satu ayat. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahulany, Muhammad Ibn Ismail. Subul As-Salam. Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Abdul Halim. S, Abu. Suap:Dampak dan Bahayanya bagi Masyarakat. Pustaka al-Kautsar, 1996
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema Insani Press, 1988.
Quraish, M. Shihab. Tafsir Al-Mishbah volume 10, : Lentera Hati,
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 19, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993.
Syaryashy, Ahmad. Yasalunaka fi Ad-Din wa al-Hayat. Beirut: Dar Al-Jail, 1981.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda, "Rasulullah saw. melaknat penyuap dan penerima suap," (Shahih lighairihi, at-Tirmidzi [1336]).
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar