TEORI PENGUNGKAPAN BENTUK DAN SISTEM NEGARA
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MENGERJAKAN TUGAS
DARI MATA KULIAH ILMU NEGARA DENGAN DOSEN PENGAMPU
BAPAK SUBAIDI, S.Ag
Disusun
:
Nama
: A. Riris Muldani
NIM
: 12340139
Kelas : Ilmu
Hukum D
PRODI
ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2012
/ 2013
Sistematika penulisan
Dalam pembuatan
makalah ini penulis mengambil sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II ISI
2.1 Republik
vs Monarki
2.2. demokrasi
vs autokrasi
2.3
Pengertian system Negara
2.4
Klasifikasi system Negara
2.5. Sistem
Negara Parlementer
2.5.1
Ciri-ciri sistem Negara Parlementer
2.5.2
Kelebihan Sistem Negara Parlementer
2.5.3 Kekurangan Sistem Negara Parlementer
2.6 Sistem
Negara Presidensil
2.6.1
Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensil
2.6.2 Kelebihan
sistem Pemerintahan Presidensil
2.6.3 Kekurangan
Sistem Pemerintahan Presidensil
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
3.2. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Penulisan
makalah ini di karenakan banyak sekali fenomena dalam sebuah bentuk dan sistem
negara. Dalam catatan sejarah dunia,
sebagian besar Negara di dunia awalnya berbentuk sebuah kerajaan yang dipimpin
oleh rasja atau Ratu. Ketika itu pada zaman pertengahan, kekuasaan raja atau
pemimpin dalam suatu kerajaan terkadang sangat absolute sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap orang yang lemah. Rakyat yang
tertindas kemudian melakukan perlawanan, rakyat berusaha menggulingkan Raja atau mengurangi kekuasaan
yang sangat besar, maka perlahan-lahan ( atau banyakl juga yang sangat cepat )
rakyat mulai memperoleh kekuasaan yang disalurkan melalui system parlemen.
Karena kekuasaan sudah berada di
tangan rakyat dan bukan lagi di tangan raja maka bentuk Negara kemudian berubah
menjadi republik. Hal ini terlihat misalnya dalm Negara francis
yang pada awalnya berbentuk kerajaan
kemudian berubah menjadi republic melalui revolusi rakyat. Perubahan
negar menjadi republic di perancis sekaligus menghapus peran raja dan peniadaan
sama sekali sistem kerajaan dei Negara itu.
Deangan demikian timbul pemahaman
ketika itu, bahwa bentuk kerajaan cenderung sewenang-wenang dan tidak sesuai
sementara bentuk republic merupakan bentuk Negara yang lebih demokratis karena
adanya lembaga parlemen ( rakyat ) yang lebih berdaulat. Pengertian bentuk
Negara kerajaan dan republic ini hingga saat ini masih diakui oleh banyak
sarjana-sarjana yang berpaham modern termasuk oleh para pendiriri Negara
Indonesia.
Namun jika saat ini ditanyakan
kepada kita apa perbedaan yang bersifat esensi antara bentuk Negara kerajaan
dan republic? Dan apakah betul saat ini
bentuk Negara republic cenderung lebih demokratis dan cocok dibandingkan bentuk
Negara kerajaan?
Begitu juga Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang
terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan
sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja
misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang
raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang
menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan
tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban
Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa.
Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan,
sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Selanjutnya kita akan membahas apakah maksud dari prinsip ini? Bagaimana
perkembangannya? Serta bagaimana praktek penerapannya dalam suatu negara?
Begitu juga adakah pembagian kekuasaan dalam Islam dan seperti apakah?
1.2
Rumusan Masalah
-
Apa perbedaan bentuk yang bersifat esensi
antara Negara monarki dan demokrasi ?
-
Apakah saat ini bentuk Negara republic lebih cenderung demokratis dan memasyarakat
-
Daripada suatu bentuk Negara monarki atau kerajaan ?
-
Apakah di era yang modern ini, bentuk Negara itu
masih tetap, atau Mungkin mengalami Perubahan ?
- Teori apa yang bias menguak seluk beluk
suatu bentuk dan system Negara ?
1.3 Tujuan
- Mengungkap seluk beluk suatu
bentuk dan system Negara dan memikirkan bagaimana Negara ini untuk meraih
kejayaan
- Membedakan Bentuk Negara monarki
dan republic untuk mengetahui bentuk dan system negara apa yang paling tepat
- Mensosialisasikan
suatu teori dalam menungkap suatu bentuk dan system suatu Negara.
BAB II
ISI
2.1
Negara Republik Versus Negara Monarki
Setiap Negara di dunia memiliki nama yang biasanya
menunjukan bentuk suatu Negara yang
bersangkutan. Kata Republik pada Republik Indonesia mengacu pada bentuk Negara
Indonesia yang merupakan bentuk republic. Istilah Negara Kemerdekaan Republik
Indonesia yang disingkat NKRI memberikan pengertian bentuk Negara republic dan
susunan Negara atau bangunan Negara kesatuan. Para pendiri Negara biasanya
selalu menentukan bentuk Negara yang mereka inginkan yang tercantum dalam
kontitusi atau undang-undang Dasar Negara tersebut termasuk Indonesia.
Pada awalnya Bentuk negara Sejak dahulu
sebelum kita lahir. para tokoh dalam Ilmu
Negara sudah menemukan pengertian tentang bentuk suatu negara. Pembagian bentuk
suatu Negara yaitu menjadi Republik dan Monarki pertama kali dikemukakan oleh
Machiavelli yang menyebutkan bahwa Negara itu kalau bukan republic tentu
kerajaan. Menurut Machiavelli Negara merupakan sebuah genus sedangkan republic
dan monarki atau kerajaan merupakan spesies. 4
Dalam catatan sejarah dunia,
sebagian besar Negara di dunia awalnya berbentuk sebuah kerajaan yang dipimpin
oleh rasja atau Ratu. Ketika itu pada zaman pertengahan, kekuasaan raja atau
pemimpin dalam suatu kerajaan terkadang sangat absolute sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap orang yang lemah. Rakyat yang
tertindas kemudian melakukan perlawanan, rakyat berusaha menggulingkan Raja atau mengurangi kekuasaan
yang sangat besar, maka perlahan-lahan ( atau banyakl juga yang sangat cepat )
rakyat mulai memperoleh kekuasaan yang disalurkan melalui system parlemen.
Karena kekuasaan sudah berada di
tangan rakyat dan bukan lagi di tangan raja maka bentuk Negara kemudian berubah
menjadi republik. Hal ini terlihat misalnya dalm Negara francis
yang pada awalnya berbentuk kerajaan
kemudian berubah menjadi republic melalui revolusi rakyat. Perubahan
negar menjadi republic di perancis sekaligus menghapus peran raja dan peniadaan
sama sekali sistem kerajaan dei Negara itu.
Deangan demikian timbul pemahaman
ketika itu, bahwa bentuk kerajaan cenderung sewenang-wenang dan tidak sesuai
sementara bentuk republic merupakan bentuk Negara yang lebih demokratis karena
adanya lembaga parlemen ( rakyat ) yang lebih berdaulat. Pengertian bentuk
Negara kerajaan dan republic ini hingga saat ini masih diakui oleh banyak
sarjana-sarjana yang berpaham modern termasuk oleh para pendiriri Negara
Indonesia.
Namun jika saat ini ditanyakan
kepada kita apa perbedaan yang bersifat esensi antara bentuk Negara kerajaan
dan republic? Dan apakah betul saat ini
bentuk Negara republic cenderung lebih demokratis dan cocok dibandingkan bentuk
Negara kerajaan? Ternyata jawabanya tidak mudah dan tidak sederhana.
Banyak sarjana yang memberikan
definisi mereka msing-masing untuk membedakan antara bentuk Negara kerajaan dan
republic. George Jellinek memberikan ukuran untuk membedakan kerajaan dan
republic berdasarkan kemauan suatu Negara. Jika kemauan Negara ditentukan oleh
satu orang maka Negara itu merupaka kerajaan namu jika kemaun itu ditentukan
olaeh banyak orang maka Negara berbentuk republic. Paham ini tentu saja tidak
dapat diterima lagi saat ini karena pembentukan kemauan suatu Negara di inggris
misalnya, tidak ditentukan oleh raja atau ratu lagi tetapi oleh parlemen, dan
inggris adalah Negara kerajaan bukan republic.
Inggris memiliki perjalanan
sejarahyang berbeda dengan perancis. Kekuasaan rakyat yang muncul di inggris
tidak serta merta menghapus peran raja atau ratu sebagaimana yang terjadi di
Negara perancis. Di inggris raja atau ratu masih diakui keberadaannya, bahkan
diberikan peran Sebagai kepala Negara yang merupakan symbol sementara kekuasaan
berada di tangan parlemen.
Sarjana lainmembedakan republic dan
kerajaan berdasarkan cara pengangkatan kepala Negara. Duguit menyebutkan,
apabila kepala Negara ditunjuk berdasarkan keturunan yang telah ditetapkan maka
disebut kerajaan. Pendapat ini juga
sudah tidak dapat dipertahnkan lagi, karena ada kerajaan yang kepala negarnya
diangakat secara bergiliran, misalnya malaysia.
Hampir seluruh Negara dengan bentuk
kerajaan saat ini memiliki parlemen dengan kehidupan demokrasi yang berjalan
sangat baik seperti inggris, Belanda, swedia, Denmark dan lain-lain. Sementara
itu banyak Negara yang berideologi komunis, yang dinilai banyak kalangan
sebagai Negara yang anti-demokrasi karena hanya memperkenankan satu partai
politik, justru menyebut dirinya sebagai republic.
Dengan demikian pada saat ini
sebenarnya sudah tidak terlalu penting lagi membedakan bentuk Negara
berdasarkan pembagiaan republic atau kerajaan. Bentuk Negara republic atau
kerajaan juga bukan lagi menjadi indicator bahwa Negara demokratis dengan
pemilihan bentuk Negara kerajaan atau republic.
Pembagian bentuk suatu Negara
ternyata tidak hanya dibagi menjadi republic dan monarki atu kerajaan saja. Para sarjana memilik
sudut pandang lain dalam memandang bentuk neagara. Mereka melihat pembagiaan
bentuk suatu Negara menjadi republic dan kerajaan ternyata tidak memuaskan lagi
untuk zaman sekarang karena sudah sulit membedakan diantara keduanya. Karena
itu muncul paham yang membagi bentuk Negara menjaadi dua bagian, yaitu :
1. Negara Demokrasi
2. Negara Autokrasi atau Diktator
2.2 Negara
Demokrasi Vs Autokrasi
Pada zaman modern ini boleh semua
Negara menyatakan dirinya sebagai Negara demokrasi. Lanta apa indicator yang
dapat dijadikan acuan suatu Negara itu dikatakan Negara demokrasi atau tidak ?
Demokrasi yang dikenal pertama kali
adalh demokrasi langsung yang saat itu keseluruhan warga Negara dengan nyata
ikut serta dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijakan umun dan
undan-undang. Pada saat ini, tidak ada Negara yang menerapkan demokrasi
langsung. Karena pada dasarnya demokrasui tidak langsung adalah bersifat hakiki
dari demokrasi modern yang berlaku pada saat ini.
Hans Keseln menyebutkan bahwa suatu
Negara yang memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negaranya itu di
sebut Negara demokratis namun jika Negara tersebut membatasi masyarakatnya
berrti Negara tersebut bukan Negara demokratis. Demokrasi yang disebutkan oleh
Hans Keslen ini dikatakan demokrasi liberal yaitu demokrasi yang mengacu pada
kebebasan individu. Karena itu dia membagi Negara menjadi dua, yaitu Negara
bebas dan Negara tidak bebas.
Ciri khas dari bentuk Negara
demokrasi adalh kekuasan pemerintahn itu terbatas dan tidak melakukan
sewenang-wenang terhadap masyarkatnya. Cara terbaik untuk untuk membatasi
kekuasaan pemerintah adalh dengan adanya kontitusi sehingga paham ini sering
pula disebut disebut demokrasi
konsetitusional. Karena kontitusi akan menjamin hak-hak azasi warga
negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan Negara sedemikian rupa
sehinggakekuasaan eksekutif diimbangi oleh kejkuasaan legislative ( parlemen )
dan kekuasaan yudikatif ( lembaga Umum ).
Sarjana lain yaitu M Carter dan Jonh
Herrtz menyatakan suatu Negara disebut Negara demokrasi, apabila :
a. Yang memerintah dalam Negara
tersebut adalah rakyat
b. Bentuk pemerintahanya yang diselangarakn
kekuasaan terbatas, yang membiarkan beberapa Negara aztau sebagiaan besar
lingkungan hidup individu dan golongan tanpa diatur. Bila lingkungan itu
dijami oleh hokum atau dilindungi oleh
konvensi terhadap campur tangan pemerintah, maka rezim semacam ini disebut
liberal.
c. Menurut mereka di Negara demokrasi pengantiaan pemimpin itu
secara berkala, tertib dan damai melalaui alat-alat perwakilan rakyat yang
efektif.
Bentuk Negara autokrasi atau
dictator ini mempunyai ciri-ciri yang bertentangan dengan Negara demokrasi.
Dalam Negara autokrasi anggota masyarakatnya tidak memiliki kebebasan seperti
halnya demokrasi. Pemegang kekeuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atu
berada di kelomp orang saja.
Salah saatu bentuk Negara autokrasi
biosa di ambil pada Negara yang berpaham komunis. Negara komunis ini mengklaim
Negara yang melaksanakn demokrasi, sejhingga demokrasi ini disebut dengan nama
demokrasi proletar, demokrasi marxus komunisme atau demokrasi gaya soviet
sebelum bubar dan terpecahmenjadi berbagai Negara kecil bekas soviet.
Tokohnya yaitu karl marx. Masyarakat
yang dicita-citakan olehnya ialah masyarakat komunis yang memiliki kelas social
yang intinya manusia itu bebas. Menurut marx kepemilikan terhadap harta pribadi
merupakan sumber dARi ketidak adilan dan penindasan. Bahkan kalu bias harta itu
direbut, kalu tidak bias memakai kekerasan.
Menurut MIriAam Budiardjo, paham
komunis ini dijadikan Negara sebagai alat untuk mencapai tujuan yaitu
masyarakat yang makmur secara merata. Karena itu, semua alat Negara seperti
polisi dan tentara itu dipakai demi tercapainya komunisme.
Sulit untuk menyebutkan satu
persdatu contoh dari Negara yang autokrasimodern saat ini. Karena hamper semua
Negara saat ini menyebutkan bahwa negaranya adalah Negara demokrasi. Tetapi,
bias dirasakan dan di duga bahwa Negara yang emnganut autikrasi ini adalah
Negara berkembang.pembuktiaan yang tepat untuk menentukan ini. Dengan meneliti
Negara itu melakukan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota parlemenya,
kemudian apakahb pemilihan umum tersebut diselanggarakan secara langsung, umum
dan bebas.
Jika anggota parlemennya tidak
dipilih secara langsung, umum dan bebas maka kadar demokrasi di negra tersebut
sangat kecil sehingga Negara tersebut bias masuk autokrasi. Apabila Negara
tersebut parlemennya tidak dipilih sama sekali sudah jelas Negara tersebut
adalah autokrasi.
Banyak sekali cara sebuah Negara
untuk mengisi keanggotaannya dalam parlemen baik melalui perwakilan politik,
pemilihan dan pengangkatan maupun perwakilan fungsional. Tetapi dari presentase
anggota parlemen dapat diukur kadarnya dari demokrasi yang dianut.
2.3
Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem
pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata
system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara.
Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dengan ata
dasar perintah dalam Kamus Bahasa
Indonesia, kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang
bermakna menyuruh melakukan sesuatu;
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang
memerintah suatu wilayah, daerah, Negara;
c. Pemerintahan adalah
perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah.
Sehingga secara etimologis sistem
pemerintahan dapat disebut sebagai cara menyuruh melakukan sesuatu atau tatanan
kekuasaan yang memerintah suatu Wilayah, daerah atau Negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan
adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta
jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan Negara.
Sistem pemerintahan
diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen
pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian
tujuan dan fungsi pemerintahan. Dalam arti yang luas, pemerintahan adalah
perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.
Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu :
v
Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau
kekuasaan menjalankan pemerintahan.
v
Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang
v
Kekuasaan Yudikatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas
undang-undang.
Komponen-komponen tersebut secara
garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang saling
berhubungan satu sama lain demi mencapai tujuan pemerintahan negara yang tercantum dalam
dasar Negara.
Tujuan pemerintahan negara dalam dasar negara pada umumnya berisi cita-cita, visi dan misi pembentukan Negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Tujuan pemerintahan negara dalam dasar negara pada umumnya berisi cita-cita, visi dan misi pembentukan Negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang bentuk
pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban
membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan
melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri.
Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana
menteri maka dapat disebut dewan menteri/kabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet
ministrial.
2.4
Klasifikasi Sistem Pemerintahan
Sistem
pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
1. sistem pemerintahan presidensial.
1. sistem pemerintahan presidensial.
2. sistem pemerintahan parlementer.
Pada
umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan
tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau
kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai
tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan,
Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan
Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan
presidensial.
Kedua
negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang
dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model
pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem
pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap
konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari
dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara
lain dibelahan dunia.
Klasifikasi
sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan
antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut
parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif
mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut
presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan
legislatif. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta
kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer.
2.5 sistem pemerintahan Parlementer
merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah
(eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan
yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap
eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
2.5.1 Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer
adalah sebagai berikut :
1. Badan legislatif atau parlemen
adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan
lembaga legislatif.
2. Anggota parlemen terdiri atas
orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik
yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan
memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3. Pemerintah atau kabinet terdiri
dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana
menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam
sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
4. Kabinet bertanggung jawab kepada
parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota
parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan
kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada
kabinet.
5.Kepala negara tidak sekaligus
sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri,
sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan
dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia
hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
6. Sebagai imbangan parlemen dapat
menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri
dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk
membentukan parlemen baru.
2.5.2 Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer
1.Pembuat kebijakan dapat ditangani
secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan
legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu
partai atau koalisi partai.
2. Garis
tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
3. Adanya
pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
2.5.3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer
1. Kedudukan badan
eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga
sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
2. Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai
dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
3. Kabinet dapat
mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah
anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang
besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
4. Parlemen
menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka
menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi
menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
2.6 sistem
pemerintahan Presidensial
Dalam sistem pemerintahan
presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang
independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti
dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara
terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini
ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.
2.6.1 Ciri-ciri dari sistem
pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut.
1. Penyelenggara
negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung
oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
2. Kabinet (dewan
menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan
tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
3. Presiden tidak
bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih
oleh parlemen.
4. Presiden tidak
dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5. Parlemen
memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen
dipilih oleh rakyat.
6. Presiden tidak
berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Sistem
pemerintahan Presidensial merupakan system pemerintahan di mana kepala
pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab
kepada parlemen (legislatif). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena
presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan,
Argentina, Filiphina, Indonesia.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia,
Malaysia.
2.6.2 Kelebihan
Sistem Pemerintahan Presidensial
1. Badan eksekutif
lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
2. Masa jabatan
badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa
jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah
lima tahun.
3. Penyusun
program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
4. Legislatif
bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh
orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
2.6.3 Kekurangan
Sistem Pemerintahan Presidensial
1.
Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat
menciptakan kekuasaan mutlak.
2.
Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
3. Pembuatan
keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif
dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu
yang lama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari buku yang saya baca terus saya
kutip kedalam makalah saya ini, menyimpulkan bahwa banyak sekali fenomena yang
ada dalam suatu Negara, dari bentuk Negara monarki . Ketika itu pada zaman pertengahan,
kekuasaan raja atau pemimpin dalam suatu kerajaan terkadang sangat absolute
sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap orang yang
lemah. Rakyat yang tertindas kemudian melakukan perlawanan, rakyat
berusaha menggulingkan Raja atau
mengurangi kekuasaan yang sangat besar, maka perlahan-lahan ( atau banyak juga
yang sangat cepat ) rakyat mulai memperoleh kekuasaan yang disalurkan melalui
system parlemen.
Dari kejadian itu langsung muncul
pemahaman, bahwa bentuk kerajaan cenderung sewenang-wenang dan tidak sesuai
sementara bentuk republic merupakan bentuk Negara yang lebih demokratis karena
adanya lembaga parlemen ( rakyat ) yang lebih berdaulat. Pengertian bentuk
Negara kerajaan dan republic ini hingga saat ini masih diakui oleh banyak
sarjana-sarjana yang berpaham modern termasuk oleh para pendiriri Negara
Indonesia. Pembagian bentuk suatu Negara ternyata tidak hanya dibagi menjadi
republic dan monarki atu kerajaan saja.
Para sarjana memilik sudut pandang lain dalam memandang bentuk neagara. Mereka
melihat pembagiaan bentuk suatu Negara menjadi republic dan kerajaan ternyata
tidak memuaskan lagi untuk zaman sekarang karena sudah sulit membedakan
diantara keduanya. Karena itu muncul paham yang membagi bentuk Negara menjaadi
dua bagian, yaitu Negara Demokrasi dan Autokrasi atau Diktator.
Sedangkan
menurut system pemerintahan yang parlementer dan presidenal itu saya
menggunakan teori pemisahan atau pembagiaan kekuasaan, karena menurut saya ini
juga sangant efektif dengan adnya pembatasan kekuasaan, jadi mereka para
pemimpin Negara tidak melakukan hal-hal yang sewenang-wenang. Kan sekarang
banyak sekali para pejabat Negara bertimdak sewenang-wenagng meskipun di Negara
kita sudah menerapkan pembatasn kekuasaan.
Sejarah
munculnya teori pemisahan atau pembagian kekuasaan. Pada dasarnya, prinsip
pemisahan kekuasaan telah lama dibicarakan pada masa sebelum masehi/ashr
al-qadim oleh tokoh filsafat Yunani yaitu plato ( 427-347 SM ) dan aristoteles
( 322-384 SM ). Akan tetapi kemunculannya dalam bentuk yang lebih matang muncul
pada era modern/ashr al-hadits ketika terjadi revolusi perancis abad 17 atau
tepatnya 1690 masehi oleh filsuf berkebangasaan inggris, John locke dengan
bukunya " Pemerintahan Sipil/al-hukumah al-madinah/Civil Goverment "
. Yang selanjutnya diterangkan dalam bentuk yang jelas oleh filsuf politik
Perancis Montesquieu dalam bukunya " L'Esprit des lois/ruh al-qawanin/the
spirit of laws " (1748) yang mengikuti jalan pemikiran John Locke walau
ada sedikit perbedaan.
Prinsip pemisahan atau pembagian
kekuasaan dalam teori politik kenegaraan (konstitusional).
1) Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, ketika masa pemerintahan
parlementer/al-hukumah an-niyabiyah dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties
of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam
organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar
pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang
kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif/Sulthah
Tasyri'iyah (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif/Sulthah
Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif/Sulthah
Ittihadiyah atau Ta'ahudiyah (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara
lain seperti:mengumunkan perang dan perdamaian, dan menetapkan
perjanjian-perjanjian).
Pendapat John Locke inilah yang
mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk
menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
2) Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu
Menurut Montesquieu dengan teorinya
trias politica yang tercantum dalam bukunya “L’esprit des Lois” selaras dengan
pikiran John Locke, membagi kekuasaan dalam tiga cabang :
1. Kekuasaan Legislatif sebagai
pembuat undang-undang
2. Kekuasaan Eksekutif sebagai
pelaksana UU
3. Kekuasaan Yudikatif yang bertugas
menghakimi.
Dari klasifikasi Montesquieu inilah
dikenal pembagian kekuasaan Negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif
(the legislative function), eksekutif (the executive function), dan yudisial
(the judicial function).
Konsep yang dikemukakan oleh John
Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki
perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan
eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili
itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan
luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan
eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri
itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan
kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata,
sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu
yang lebih diterima.
3) Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau
Menurut Rousseau filsuf kelahiran
Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan terbatas pada eksekutif yang merupakan hak
rakyat semata. Dan kekuasaan ini tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan
rakyat. Adapun legislatif menurutnya hanyalah penengah dan perantara rakyat
dengan kekuasaan eksekutif yang menetapkan undang-undang dan tunduk sepenunya
pada kekuasaan eksekutif yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat.
Dia juga setuju dengan adanya kekuasaan yudikatif.
Dan dari pemikirannya ini, sebagian
ahli hukum berpendapat bahwa Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan
kekuasaan Negara, karena kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus
bertindak sebagai eksekutor. Dan legislative hanyalah perantara belaka.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti
yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga
kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie
menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
3.2 SARAN
Bentuk
dan system suatu Negara itu sangat penting sekali dalam peningkatan dan
kemajuan Negara tersebut. Entah itu bentuk Negara monarki atau republic, semua
tergantung pada kebijakan para pendiri suatu Negara. Asalnya itu sama asalkan
kita saling menghargai dan saling mengerti. Antara bentuk Negara monarki yang
mempunyai permasalah rkyat tertindas oleh raja atau pemimpin yang berkuasa
sedangkan republic memang aspirasi banyak tetapi, kerjanya lambat, soalnya
menunggu kesepakatan orang banyak. Di situ di mana ada kekurangan pasti ad
kelebihan.
Maka
dari tu para pemimpin Negara dan rakyat harus mempunyai hubungan yang sangat
erat, jangan sampai ada permusuha, entah itu bentuk Negara monarki atau
republic. Kita sama menjunjung namanya tolernsi dan menumbuhkan semangat
kebersamaan untuk membangun Negara. Pemimpin negar juga harus cerdas, jangan
sampai ada permasalahan yang di anggap enteng. Dan kita harus banyak aprisiasi
untuk mendukung majunya Negara dan kita mungkin juga bias mengkolaborasikan
antara bentuk Negara monarki dan republic. Jadi nanti bias tercipta
keselarasan.
Kalau
masal system suatu Negara, kita mengacu pada presidensil, tapi tetap pemimpinya
harus cerdas. Karena pemimpin peranya sangat penting sekali. Dalam memajukan
suatu Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar