Penghayat Kepercayaan merupakan
salah satu aspek penting dari keberagaman agama dan spiritualitas di Indonesia.
Meskipun negara ini dikenal dengan mayoritas penduduknya yang menganut
agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha, namun ada juga
komunitas-komunitas kecil yang mengikuti kepercayaan-kepercayaan tradisional
yang berakar dalam budaya lokal.[1]
Penghayat Kepercayaan, sering kali
disebut juga sebagai aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, memiliki sejarah
panjang di Indonesia. Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke kepulauan
ini, masyarakat pribumi telah mengamalkan kepercayaan-kepercayaan animisme,
dinamisme, dan politeisme yang berhubungan erat dengan alam dan roh nenek
moyang.[2]
Kedatangan agama-agama tersebut kemudian membawa proses akulturasi dan sinergi
antara kepercayaan tradisional dengan ajaran-ajaran baru.
Penghayat Kepercayaan di Indonesia
tidak terikat pada struktur organisasi formal seperti agama-agama besar. Mereka
sering kali mengamalkan keyakinan-keyakinan yang lebih terbuka dan personal,
serta mempraktikkan ritus-ritus yang beragam tergantung pada tradisi lokal dan
kepercayaan individu. Beberapa ciri umum dari Penghayat Kepercayaan meliputi:
a. Keterbukaan terhadap Pluralisme
Penghayat
Kepercayaan umumnya menghargai keberagaman agama dan keyakinan. Mereka
cenderung untuk menerima perbedaan dan bertujuan untuk hidup berdampingan
secara harmonis dengan masyarakat sekitarnya.
b. Koneksi dengan Alam
Banyak
kepercayaan tradisional di Indonesia menekankan hubungan yang erat antara
manusia dengan alam. Mereka percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki roh
atau kekuatan spiritual yang dapat berinteraksi dengan manusia.
c. Pemujaan Terhadap Roh Nenek Moyang
Beberapa
aliran kepercayaan meyakini adanya roh nenek moyang yang harus dihormati dan
dipuja sebagai penjaga atau pelindung.
d. Ritus dan Upacara Tradisional
Penghayat
Kepercayaan sering mengamalkan serangkaian ritual dan upacara tradisional untuk
memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, seperti pernikahan,
panen, atau kematian.
Meskipun memiliki warisan budaya
yang kaya, Penghayat Kepercayaan di Indonesia sering menghadapi tantangan dalam
mengakses sumber daya dan mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Diskriminasi dan persekusi terhadap komunitas-komunitas kepercayaan tradisional
juga masih menjadi masalah yang relevan.[3]
Namun demikian, dengan semakin
berkembangnya kesadaran akan pentingnya pluralisme agama dan kebebasan
beragama, harapan tumbuh untuk masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai
keberagaman spiritual di Indonesia. Peningkatan dialog antar agama dan dukungan
terhadap hak-hak individu dalam menjalankan keyakinannya menjadi kunci untuk
mencapai tujuan ini.[4]
Penghayat Kepercayaan di Indonesia
adalah bagian integral dari warisan budaya yang beragam dan kaya. Dalam konteks
modern yang terus berubah, pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman agama
dan spiritualitas menjadi pondasi untuk membangun masyarakat yang lebih toleran
dan harmonis. Penghayat kepercayaan, sering juga disebut sebagai penganut
kepercayaan atau agama tradisional, merujuk pada praktik keagamaan yang berakar
pada budaya dan tradisi lokal suatu masyarakat. Meskipun sering kali tidak
diakui secara resmi oleh institusi-institusi agama besar, penghayat kepercayaan
memiliki warisan spiritual dan kearifan lokal yang kaya, yang telah membentuk
identitas budaya di berbagai belahan dunia. [5]
Penghayat kepercayaan mencakup
beragam kepercayaan dan praktik spiritual yang tumbuh subur di berbagai
komunitas dan budaya. Dari pemujaan alam, animisme, hingga ritual keagamaan
yang berkaitan dengan leluhur, setiap tradisi memiliki nilai-nilai uniknya sendiri.
Keberagaman ini mencerminkan hubungan yang dalam antara manusia dan lingkungan
sekitarnya, serta kepekaan terhadap keberagaman alam semesta. Salah satu ciri
utama penghayat kepercayaan adalah fleksibilitasnya. Meskipun ada
prinsip-prinsip yang mendasari setiap tradisi, penghayat kepercayaan sering
kali memungkinkan interpretasi yang beragam terhadap ajaran-ajaran tersebut.
Hal ini memungkinkan setiap individu dan komunitas untuk menyesuaikan praktik
keagamaan mereka dengan kebutuhan dan konteks budaya mereka sendiri.[6]
[1] M Wildan Humaidi, “POLITIK HUKUM
MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS REKOGNISI PENGHAYAT KEPERCAYAAN DALAM KONTESTASI
POLITIK KEWARGAAN INDONESIA,” Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan
Ketatanegaraan 9, no. 1 (August 7, 2020): 58.
[2] Mohammad Damami, Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Periode 1973-1983; Sebuah Sumbangan Pemahaman
Tentang Proses Legalisasi Konstitusional Dalam Konsteks Pluralitas Keberagaman
Di Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama, 2011), 8.
[3] Mohammad Damami, Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa Dewasa Ini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), 63.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
―Kamus Besar Bahasa Indonesia‖ (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2018.
[5] Ahmad Chairul Rofiq, ―Ahmad Chairul
Rofiq, Kebijakan Pemerintah Terkait Hak Sipil Penghayat Kepercayaan Dan
Impikasinya Terhadap Perkembangan Penghayat Kepercayaan Di Ponorogo,‖
Kodifikasia 8, no. 1 (2014): 3
[6] Salim HS and Erlies Septiana,
Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), 131.